Sering kali terdengar sebuah pertanyaan "apa sih peran pendamping dalam dana desa?" dengan nada sinis dan penuh kecurigaan. Seolah tanpa adanya pendampingan, maka pembangunan dan pemberdayaan akan tetap berjalan dengan sendirinya, bukankah sudah ada aturan yang harus di ikuti dan banyaknya mata yang mengawasi ke desa akhir -- akhir ini, sehingga seharusnya tidak ada masalah dan kegiatan di desa tetap berjalan seperti biasanya.
Namun jika kita bicara soal kualitas dari dana desa atau alokasi dana desa tanpa pendampingan, sudahkah inklusifitas tercipta di dalam APBDesa? Dimana setiap sudut desa merasakan manfaat dari dana desa tersebut, baik sebagai pelaku ataupun objek pembangunan.
Melakukan pemberdayaan di dalam lingkup desa, berarti ada penyamaan persepsi pembangunan yang sama  di antara 74.754 desa se indonesia dengan dinamika masyarakat yang bisa saja berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya, bahkan dalam lingkup antar dusunpun dapat berbeda persepsi, mungkin disatu desa, posisi matrilinier masih kental terasa, atau suara ninik mamak yang harus didengarkan daripada suara seorang camat sekalipun, ditempat lain mungkin kita dapat berbicara lugas tanpa batasan, di sisi lain, tutur kata haruslah dijaga untuk menghormati tuan rumah.
Mensosialisasikan tentang UU no 6 tahun 2014 kepada masyarakat desa bukanlah hal yang mudah, karena dalam proses sosialiasi ini, kita ikut serta membangunkan kesadaran masyarakat desa untuk membangun desanya sendiri.
Sebagai contoh, selama proses pendampingan saya semenjak tahun 2016 dengan 3 lokasi pendampingan berbeda, setiap desa memiliki kompleksitas masalah tersendiri, untuk kasus pertama, ada sebuah kecamatan, dimana separuh dari jumlah desa dikecamatan tersebut terjadi pertengkaran antara pemerintah desa dengan BPD sebagai pengawas ditingkat desa, apa yang terjadi jika pertikaian ini terus berlanjut? APBDesa tentu saja tidak akan disahkan, yang berakibat seluruh dana yang akan masuk kedesa akan tertahan, ujungnya, tentu saja anggaran dana desa dan add akan menghasilkan silpa, jika kita memakai pendekatan pola pikir diawal tulisan ini, tentu saja kita cukup bilang "biar saja, toh yang rugi juga desa dananya tidak cair".
Apakah pendekatan penyelesaian bahwa dana desa yang terdapat pada desa bermasalah antara pemerintah desa dan BPD cukup dengan menahan dana sampai mereka berdamai sesuai dengan sisi kemanusiaan kita? Bagaimana dengan pelayanan masyarakat desa yang menjadi tidak optimal karena perangkatnya tidak mendapat gaji yang sumbernya dari APBDesa?
Apakah metoda diatas akan berhasil jika terjadi pada kecamatan yang berbeda? Belum tentu, karena itulah perbedaan dinamika masyarakat yang terjadi antara satu kecamatan dengan kecamatan lain dalam lingkup satu kabupaten.