Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) untuk Indonesia tahun 2018 telah diumumkan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Pengukuran PISA bertujuan untuk mengevaluasi sistem pendidikan dengan mengukur kinerja siswa di pendidikan menengah terutama pada tiga bidang utama, yaitu matematika, sains, dan literasi.
Skor kemampuan baca Indonesia berada di skor 371 dengan rata-rata negara-negara OECD berada di angka 487. Sedangkan untuk kemampuan matematika berada di skor 379 dan sains 396 dengan rata-rata skor negara anggota OECD untuk matematika dan sains 489. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan matematika, sains, dan literasi dinilai masih rendah dan dibawah rata-rata skor negara anggota OECD.
Berdasarkan hasil tes PISA untuk Indonesia, Totok Suprayitno (Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud) memaparkan masih belum meratanya kemampuan baca, matematika, dan sains. Hanya 30% siswa Indonesia yang memenuhi kompetensi baca minimal, kemampuan matematika hanya 29% yang memenuhi kompetensi minimal, serta kemampuan sains terdapat 60% siswa Indonesia yang memenuhi kompetensi minimal yang diharapkan.
Dari hasil data penelitian tersebut, Indonesia harus bangkit dengan cara menggali berbagai kemampuan siswa secar optimal. Upaya yang paling utama dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas guru terlebih dahulu. Tinggi rendahnya kualitas pendidikan tergantung dari pergerakan guru dan kompetensi yang dimiliki guru.
Anomali Kebijakan Kurikulum
Seiring dengan seringnya perubahan dan revisi kurikulum di Indonesia saat ini ternyata belum dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal. Sistem kurikulum di Indonesia masih terjadi anomali antara kebijakan kurikulum dengan tujuan pendidikan. Berbagai revisi kurikulum yang telah dilakukan saat ini justru menjadikan konsep kurikulum menjadi semakin rumit, diantaranya tuntutan adminsitrasi guru yang berbelit dan tuntutan akhir pendidikan masih berpatokan pada angka. Hal inilah yang perlu segera dibenahi sehingga baik guru dan siswa akan merasa nyaman dalam mengikuti proses pendidikan secara efektif.
Kendala dalam sistem kurikulum Indonesia yang menjadi beban bagi guru adalah tugas adminstrasi guru yang terlalu rumit dan berbelit. Guru sangat terbebani dengan penyusunan adminsitrasi pembelajaran yang setiap tahun harus dibuat, seperti Program Tahunan, Program Semester, Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Banyaknya komponen yang harus dirancanang terutama dalam penyusunan RPP, mulai dari Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, hingga instrumen penilaian sehingga banyak guru bingung dan malas mengerjakannya. Sehingga dampaknya banyak guru yang hanya copy-paste dalam menyusun adminsitrasi pembelajaran dari guru lain bahkan dari internet. Sementara itu adanya tuntutan penyelesaian adminstrasi pembelajaran sebagai syarat untuk memenuhi pencairan tunjangan profesi maupun kenaikan pangkat sehingga guru lebih mengedepankan pada tuntutan tersebut. Â
Sistem penilaian pendidikan di Indonesia saat ini juga masih berpatokan pada nilai akhir pendidikan, yaitu ujian. Sejatinya penilaian pendidikan pada proses pendidikan lebih utama daripada penilaian pada akhir pendidikan. Kemampuan siswa yang beragam dan heterogen tentu membutuhnya proses pembelajaran yang lebih inovatif. Sejatinya potensi siswa tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi hal ini dilakukan terpaksa mengejar angka karena didesak dengan kondisi kebijakan yang ada.
Disinilah kebijakan kurikulum yang perlu segera dibenahi dengan merujuk pada tujuan pendidikan sesuai Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kemerdekaan Guru
Kemerdekaan merupakan bagian penting dari pengembangan guru. Kompetensi guru tidak akan dapat berdampak optimal tanpa adanya kemerdekaan. Sebab, hanya guru yang merdeka yang dapat membebaskan siswa, hanya guru yang antusias yang dapat menularkan rasa ingin tahu pada siswa, dan hanya guru belajar yang pantas mengajar.
Guru merupakan pilar utama pendidikan. Kualitas guru sangat menentukan perubahan kualitas pendidikan. Guru sebagai garda terdepan harus dapat memberikan karya yang dapat memberikan inspirasi bagi siswanya dalam bentuk proses pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan.
Disinilah awal mula konsep 'Merdeka Belajar' dicanangkan oleh Mendikbud, Nadiem Makarim sebagai arah kebijakan salah satu dari Nawacita yaitu menciptakan Sumber Daya Manusia yang unggul dan berdaya saing. Konsep 'Merdeka Belajar' sangat tepat dilakukan demi tercapainya tujuan pendidikan yang bermutu. Sebab esensi dari konsep ini adalah memberi kemerdekaan yang seluas-luasnya bagi guru untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan bagi siswa dengan mengedepankan pada kebutuhan dan karakteristik siswa di daerah masing-masing.
Esensi 'Merdeka Belajar' adalah menggali potensi terbesar para guru dan siswa untuk berinovasi dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri. Mandiri bukan hanya mengikuti proses birokrasi pendidikan, tetapi benar-benar inovasi pendidikan. Setiap siswa, sekolah, dan daerah memiliki tingkat kompetensi fundamental, baik literasi, numerasi, dan sains yang berbeda. Tidak mungkin semua siswa dalam satu tingkat disamaratakan sesuai standar minimal.
Setiap siswa yang dilahirkan pasti memiliki keistimewaan yang berbeda-beda. Disinilah guru harus mampu menjadi teman belajar yang nyaman dan menyenangkan agar proses belajar siswa benar-benar atas kesadaraannya sendiri dan merdeka atas pilihannya. Diperlukan waktu yang cukup serta kesabaran dalam memfasilitasi, agar siswa mampu untuk mengenali potensinya. Karena bakat siswa dapat tumbuh ketika siswa sudah memiliki minat dan mau berlatih untuk mengasah keterampilannya. Dalam mengawali proses belajar, guru juga perlu memiliki kemampuan mendengar yang baik. Tidak hanya sekedar mentransfer pengetahuan dan mendikte siswa atas kehendak guru.
Konsep 'Merdeka Belajar' bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia pembelajaran. Penganut ideologi humanistik dalam pembelajaran telah mendikusikan secara mendalam dua tema tersebut lebih dari setengah abad yang lalu.
Pada tahun 1969, Carl Rogers mempublikasikan sebuah buku berjudul 'Freedom to Learn'. Pada pengantar buku tersebut, ia mengatakan bahwa "Sekolah kita umumnya sangat tradisional, konservatif, birokratis dan resisten terhadap perubahan. Satu cara yang harus dilakukan untuk menyelamatkan generasi muda ini adalah melalui kemerdekaan belajar".
Oleh karena itu, sistem kurikulum di Indonesia perlu dirancang untuk mendorong para guru untuk selalu bergerak dengan memilih materi dan metode pembelajaran kualitas tinggi sesuai tingkat kompetensi, minat, dan bakat masing-masing siswa. Jangan sampai guru tertekan dan terdesak dengan kondisi administrasi pembelajaran apapun sehingga dapat menutup akses guru untuk berinovasi. Berikan ruang yang seluas-luasnya bagi guru untuk membuat karya terbaiknya dengan konsep pembelajaran masing-masing sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai secara optimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H