Mohon tunggu...
Dina Febiyanti
Dina Febiyanti Mohon Tunggu... Konsultan - Antropolog - penulis

coffee, susu, indomie, memasak, menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Roman

Merdeka Untukmu Biru Laut Wibisana: Pada Novel Laut Bercerita Karya Leila S. Chudori

17 Agustus 2024   18:00 Diperbarui: 17 Agustus 2024   23:37 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Matilah engkau mati  

Kau akan lahir berkali –kali…

            Begitulah kutipan yang begitu melekat pada buku laut bercerita. Kemerdekaan Indonesia yang ke- 79 tahun ini tidak lengkap tanpa mu mas Biru laut  wibisana. Entah beliau tokoh fiksi atau memang benar adanya yang di tulis oleh Leila S. Chudori, namun ia cukup menggetarkan hati dan jiwa saya sebagai pembaca. Di hari kemerdekaan ini yang ke – 79 izinkan saya untuk menyampai seonggok tulisan tangan  saya yang mungkin belum sehebat perjuangan mu mas Laut. Perjuangan mu dalam upaya membela keadilan, memberantas kekejian mereka, dan memperjuangkan hak  kemerdekaan, : merdeka dalam bersuara, merdeka untuk hidup yang layak, merdeka dalam menempuh pendidikan, dan merdeka hidup dalam kebebasan.

            Mas laut, perjuangan mu tentang  pergerakan tanam jagung kepada para petani  tidak ada yang berakhir sia-sia. Kutipan “ sajak seonggok jangung “ dari Rendra ,

"aku bertanya" :

Apakah gunanya pendidikan

Bila hanya akan membuat seseorang 

menjadi asing

Di tengah kenyataan persoalannya..

            Biru laut wibisana, sata ini Negri mu sudah  merasakan kemerdakan yang ke 79 tahun, melalui tangan mungil dan manis Leila s. chudori saya mengenal mu, sosok aktivis muda yang berjuang untuk melawan kegelapan  dan pembodohan. Perjuangan yang engkau  lakukan pasca 1965 hingga menjelang orde baru tetap akan terkenang di hati saya. Di dalam perjuangan akan selalu diiringi dengan langkah yang begitu berat, akan ada  pengkhianatan, jalan medan perang yang terjal, hingga dibungkamnya mulut untuk bersuara.

Laut biru, saat ini tanah air mu  sudah mengenal teknologi yang canggih dan mutakhir, tokoh yang kau agung kan pak Pramoedya Ananta Toer, kini sudah banyak dikenal oleh rakyat sipil lewat karya  bumi manusia,  yang sudah di tayangkan lewat karya visual yaitu film. Laut biru engkau kini menjadi salah satu tokoh yang tak kasat mata yang aku  kagumi dalam perjuangan pergerakan Indonesia . Melalui engkau lah, aku dan mungkin para pembaca novel Laut bercerita lainnya merasakan perih dan beratnya perjuangan mu. Mengenyam pendidikan tidak hanya membentuk dan menempah kita sebagai seorang pribadi yang berilmu pengetahuan, namun menjadikan pribadi yang memiliki sikap dan jiwa nasionalisme, baik itu dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.

Laut biru, saat ini negri kita sudah banyak mengalami revolusi dari waktu kewaktu, hak untuk menyampaikan pendapat sudah begitu bebas saat ini, HAM juga begitu getol sudah di suarakan, andaikan engkau masih berada di zaman digital ini, niscaya engkau berhak menuntut hak asasi manusia atas penyiksaan yang begitu keji dilakukan oleh tentara-tentara pada masa itu. Walaupun keadilan dan perjuangan kemerdekaan sudah sampai pada saat ini, namun masih ada banyak persoalan di negri ini yang dimana tidak semua rakyat merasakan kemerdekaan. Entah itu mereka masyarakat adat yang sampai hari ini masih memperjuangkan hak atas tanah dan tempat tinggal mereka, orang hutan yang tempat tinggalnya dirampas oleh pejabat-pejabat negri ini, yang konon katanya membabat lahan hutan tersebut bertujuan untuk melakukan pembangunan  Negara yang berdampak  memajukan perekonomian Negara. Nyata nya tujuan itu tetap menjadikan mereka yang tinggal di wilayah tersebut masih miskin, sumber daya alam yang kaya tersebut di rampas sepihak.

Biru Laut, andaikan engkau hadir disini mungkin aku akan turut ikut dengan mu melakukan pergerakan tanam jagung bagi para petani dan rakyat sipil yang tanahnya di rampas, di rebut tanpa mendapat keadilan. Laut biru, negri ku sudah merdeka namun aku masih merasa banyak kegelapan dimana –mana .

Setiap hari, ada banyak pertanyaan yang sering terlintas di dalam pikiran ku, apa sebenarnya yang terjadi pada tahun 1965 dan pasca orde baru ? aku masih ingat betul pada masa peralihan presiden soeharto, ada banyak aktivis yang hilang entah kemana hutan rimbanya, yang hingga hari ini belum menemukan titik terangnya dimana, masih gelap tanpa ada titik terang. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana gelapnya jalan yang kalian lalui mas laut dan kawan-kawan. Aku pernah berpikir sebenarnya siapa musuh terbesar para pemimpin dan penguasa yang diktator, otoriter, dan represif itu ? apakah musuh meraka adalah sipemilik lahan, apakah orang- orang yang sudah mengenyam pendidikan hingga ke negri Belanda, ataukah para raja berdarah biru ningrat itu ?

Laut, saat ini hanya aku dan pemikiran ku sendiri yang dapat mejawab akan gelap nya hal itu. Aku  bukan takut pada gelap, karena sejatinya gelap adalah bagian dari kehidupan kita sehari- hari. Musuh para diktator itu adalah otak, akal, dan pemikiran manusia, laut. Manusia yang merdeka ! Aku ingat bagaimana sejarah menulis peristiwa pak pram di asingkan di Pulau  Buru, di dalam penjara yang begitu gelap, namun tidak dengan akal pemikirannya. Di dalam jeruji besi itu pemikirannya tetap hidup dan terang benderang hingga melahirkan karya “bumi manusia”, begitu pula dengan Soekarno yang melahirkan karya ”Indonesia menggugat”  ketika ia sedang berada di dalam jeruji besi. Bukan kekuasaan, harta, dan tahta yang mereka takuti namun akal dan pemikiran. Maka cara satu-satunya melenyapkan orang yang kritis, merdeka pemikirannya, melawan  ketika di jajah dan di tindas adalah dengan membungkam dan melenyapkan mereka dari bumi ibu pertiwi ini. Begitu jugalah dengan engkau Laut biru dan kawan kawan mu yang lenyap entah dimana keberadaanya.

Mas laut, aku ingin mengucapkan banyak terimakasih atas segala perjuangan dan sikap nasionalisme mu yang berapi-api, menyadarkan ku tentang orang-orang disekeliling ku yang sebenarnya  masih banyak terjajah dan  jauh dari kata merdeka, dan mereka tertindas. Perempuan-perempuan yang masih terjebak di dalam  budaya patriarki yang menyebabkan mereka harus menjadi budak para lelaki bajingan, buruh-buruh yang diberi upah tidak setimpal, dan masyarakat adat suku pedalaman yang lahannya di gusur paksa. Laut aku tau perjuangan mu mungkin tidak setara dengan ku, engkau begitu banyak melewati penyiksaan yang keji, andai kau tau bahwa kau telah berhasil mengobati yang tidak seimbang di dunia ini.

Laut yang kini hidup di dalam perut laut,di hari yang merdeka ini, tetap lah hidup bersama laut yang biru, tetap lah merdeka, aku menulis seonggok tulisan ini dengan perasaan penuh harap, penuh penyangkalan, dan penuh mimpi kosong seraya melantunkan lagu Lost stars dari Adam Lavine.

Searching for meaning

But are we al lost stars

Trying  to light up the dark ?

Who are we ?

Just a speck of dust within the galaxy 

Woe is me

            Laut, kau lah bintang yang hilang di telan laut, yang dipeluk begitu erat oleh laut hingga kau ditidurkan begitu nyenyak dalam genggamannya, hingga tak sadar lagi. Tak ada satu orang pun yang mampu menyanggah sukma mu. Laut kau kini menjadi tokoh perwakilan dari teman-teman sejawat mu yang juga menghilang entah dimana pada masa orde baru tersebut. Kami masih mengenang kalian hingga titik darah penghabisan. Perjuangan kalian tidak akan pernah lengkang oleh waktu, tidak akan pernah luntur jiwa kepatriotan dan nasionalisme yang kalian lahirkan kepada kami. Aku akan tetap mengagumi betapa dalamnya ‘kematiannya’  kau tetap hidup terus menerus. Mas laut, dunia sejarah, sastra, dan jurnalisme tidak akan pernah melupakan tokoh mu di dalam novel laut becerita.

            Laut, jangan menganggap bahwa hidup adalah serangkaian kekalahan, setidaknya kau sudah bersusah payah dan mengupayakan hidup yang merdeka pada masa itu. Kini biarkan lah aku dan para generasi penerus mu melanjutkan perjuangan ini, menuntut hak untuk merdeka, keadilan, kesetaraan, sampai selama-lamanya. Laut tidurlah yang nyenyak di pelukan ibu laut yang kini menjadi bagian dari mu. Tanah ini akan terus berpesta pora, berhari-hari, bermalam-malam, membunuh hati tak kunjung tiba. Ketika angin gelora di timur mengepak di barat pertanda ada yang berhenti dan bergerak di pusaran hati mu.

Merdekaa..merdekaa

“ Seorang terpelajar juga harus berlaku adil 

Sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuata “

(Pramoedya Ananta Toer )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun