Kala mentari sedang begitu teriknya dari ufuk timur menyinari seluruh isi bagian bumi tanpa terkecuali. Hingga peluh tiap manusia bersimbah di seluruh nadi dengan begitu deras. Berbagai kereta berlalu lalang dengan begitu cepat tak lupa dengan serpihan debu yang ia sampaikan kepada udara dan manusia yang berbaris menunggu kehadirannya dengan pasti.
Aku salah satu orang yang berbaris kala itu, memandang dengan pilu keramaian yang ada. Ratusan manusia memenuhi segala sudut stasiun dengan penuh desakan. Tidak ada alasan yang pasti mengapa ku berdiri di sini, jika tidak lain karena janji temu kepada seorang yang kehadirannya seharusnya telah usai 4 tahun lalu lamanya.
Namun, begitu naifnya diri ku ini, memanggil kembali ia dengan alibi cerita yang lalu belum usai jika tidak karena egonya. Entah karena kebodohannya ia menuruti segala perkataan ku ini atau karena memang ada sebuah rasa simpati yang tersimpan di benaknya atau mungkin terdapat rasa yang lebih ? Entahlah, aku tidak mengerti sekalipun mengapa ia menuruti kemauanku untuk kembali bertemu kini. Saat ini ia berjanji untuk menyelesaikan hal lalu sampai tuntas.
Berbagai cara ia lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ku ungkit ini. Telah banyak pula perbincangan dan perjalanan yang kita lewati dari air mata, canda, gurau dan yang berakhir kembali pada sebuah perpisahan. Saat itu aku mengungkit hal yang lalu sebenarnya, karena sebuah alibi yang tidak beralasan. Namun kenyataannya hal itu dia pandang sebagai permasalahan besar yang belum terselesaikan dengan baik.
Pertemuan saat ini, adalah penutup dari perjalanan sebelumnya yang kita lalui bersama. Karena perihal lalu yang ku ungkit telah tuntas dan usai. Walaupun sebenarnya, ada rasa yang tumbuh dengan begitu egois di dalam benak kita masing-masing. Namun, hal itu bukanlah alasan yang besar untuk kembali melanjutkan perjalanan cerita kita. Karena kita berdua tahu hal yang selanjutnya jika dipaksakan untuk berlanjut hanya saling menyakiti satu sama lain. Dirinya yang ingin melanjutkan perjalanan dengan singgah di berbagai tempat sedangkan aku? hanya menetap di sini dengan sebuah kesunyian.
Aku menemui sosoknya di antara celah ratusan manusia di stasiun ini, dirinya yang begitu tenang bersandar disalah satu tiang penyanggah dengan tatapannya lurus mengarah rel kereta. Aku berjalan dengan begitu pasti menghampirinya. Tidak ada sepatah kata pun yang kukatakan saat telah sampai di samping sisinya. Begitu pula dengannya, hanya secarik senyum yang ia perlihatkan dan tatapan matanya yang begitu sendu dan tenang.
Hati dan pikiranku berkecamuk dengan begitu ramai. Apakah ini benar, menjadi pertemuan terakhir? apakah ini menjadi percakapan terakhir juga? Pertanyaan lainnya silih berganti dengan begitu ramai. Secara tidak sadar genggaman tangannya telah begitu erat menggenggam tanpa perizinan dari ku. Sedangkan dirinya seakan tidak peduli tetap memandang ke arah rel kereta api dengan diam. Entahlah, aku binggung dengan semua ini, rasanya begitu berkecamuk, genggaman ini yang ku nanti setelah sekian lamanya, kembali hadir.
Kereta yang kami tunggu telah sampai kehadirannya dan berhenti dengan begitu tenang menunggu penumpang untuk menaikinya. Perlahan kami menaiki kereta dan menyusuri tiap peron untuk mencari tempat duduk yang tidak bertuan untuk ditempati. Sekian lama menelusuri akhirnya kami mendapatkannya dan duduk dengan begitu tenang.
Genggamannya tetap tidak lepas hingga saat ini, entah sampai kapan genggam aku pun tak tahu, hanya ku nikmati saja rasa yang berkecamuk ini dengan diam.
"Tidak apa bukan?"
Ucapnya lirih tepat di samping telinga ku, sontak aku pun menengok kelarahnya dan menjawab dengan anggukan saja. Keadaan pun kembali hening diantara kita.
Sesampainya di stasiun Sudirman, kami pun pergi meninggalkannya dan kembali menaiki MRT menuju daerah Cipete Raya untuk mengunjungi salah satu cafe. Sesampainya disana kami duduk disalah satu pojok cafe bersamaan dengan beberapa hidangan yang kami pesan tadi. Canggung rasanya untuk memulai percakapan kembali, yang telah kami ketahui bahwa setelah kami pergi satu sama lain.
"Kita ini ingin pergi menyelesaikan semuanya atau berlanjut dengan kisah baru?"
"Aku tidak tahu, tidak ada tujuan untuk kali ini yang ingin ku singgahi?"
"Jika ku ingin melanjutkan ini dengan kisah dan tujuan yang berbeda apakah kau izinkan?"
"Lalu bagaimana dengan tujuan mu untuk singgah pergi menjelajah berbagai tempat?"
"Lebih ku takuti kau pergi dari hidupku kali ini, daripada tujuan ku yang tak tertuju itu"
Rasanya begitu berkecamuk dengan segala pernyataan darinya yang secara tiba-tiba tanpa ada instruksi sekalipun, untuk ku. Ada jeda yang begitu lama setelah pernyataan yang ia sampaikan, diri ku hanya diam menatap hidangan di atas meja dengan tatapan kosong. Mencoba mencerna segala perkataannya secara perlahan dan berdiskusi dengan diriku sendiri. Hingga akhirnya aku pun berani menjawab
"Baiklah, mari kita lanjuti kisah ini dengan hal baru, dan melukiskan hal yang lebih indah"
"Apa yang kau katakan? Benarkah mau?"
"Iya, mari kita lanjuti dengan bersama untuk hari yang kita lalui ke depannya"
Raut wajahnya seketika berubah, memancarkan raut kebahagiaan dengan matanya yang bersinar dan senyum manis yang terlukis indah. Keindahan ini kembali ku tunggu setelah sekian lamanya berpisah selama 4 tahun lamanya.
"Benarkah berlanjut? Kau tahu aku begitu bahagia kali ini"
"Aku pun sama halnya"
Dirinya sontak berpindah ke tempat duduk yang kosong tetap disamping ku ini. Untuk menyampaikan kebahagiaan yang ia miliki dengan memeluk ku dengan begitu erat, dan juga kecupan singkat di kening ku dengan makna yang begitu dalam ia sampaikan.
"Terimakasih telah menerima ku kembali, dan maaf maaf atas kesalahan ku saat lalu".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H