Upaya Ormas Islam dalam Melakukan Hegemoni Permendikbud 30/2021
Masih dalam tema kekuasaan yang sama seperti Foucault dengan konsepnya tentang governmentality dan disciplinary power, Gramsci berpandangan bahwa kekuasaan dapat diraih melalui hegemoni yang menciptakan persetujuan atas ideologi yang dipropagandakan oleh elit untuk mempertahankan kekuasaannya sehingga dapat mencapai sebuah konsensus di kalangan masyarakat dalam kesadaran umum (common sense).Â
Permendikbud No. 30/2021 yang dikeluarkan Mendikbudristek Nadiem Makarim sebagai solusi progresif dalam pengentasan kekerasan seksual di ruang lingkup kampus, kini diisi dengan perdebatan tentang moral dan nilai konservatif agama. Salah satu kelompok penentang permendikbud datang dari kelompok organisasi masyarakat (Ormas) yang merepresentasikan agama Islam.Â
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai salah satu ormas berbasis agama berpendapat, di dalam permendikbud tersebut terdapat diksi "persetujuan" yang multitafsir pada Pasal 5 Ayat (2) Permendikbud 30/2021. Gelombang penolakan Permendikbud kerap menarik perhatian publik dengan munculnya tagar #CabutPermendikbudristekNo30 di berbagai sosial media.
Ketika kami analisis konten yang dimuat dalam tagar tersebut, nyatanya diisi dengan narasi permendikbud ini mengancam nilai agama dan moral bangsa ataupun sarat akan nilai liberal dan sekuler.Â
Kembali kepada konsep hegemoni, menurut Gramsci semua kelas sosial di masyarakat memiliki kesempatan untuk menghegemoni ketika mereka memiliki kemampuan untuk mendominasi. Lebih luas, Gramsci sebagai filsuf beraliran post-marxis menelaah teori hegemoni dalam konteks negara, masyarakat sipil, dan masyarakat politik. Ormas Islam yang merepresentasikan kelompok identitas adalah bagian dari masyarakat sipil.
Sebagai masyarakat sipil, mereka memiliki posisi dalam membentuk kesadaran massa dan menjadi wadah untuk mengatur konsensus dan hegemoni (Siswati, 2017). Kesadaran massa dapat dibangun oleh kaum intelektual organik di dalam masyarakat sipil.Â
Kaum intelektual organik atau dapat disebut dengan organisator politik berperan untuk menyadari identitas, menanamkan ide, penyebaran ide yang ada di masyarakat kelas yang berkuasa, serta turut aktif dalam pembentukan masyarakat yang diinginkan (Jannah, 2019).Â
Dalam menciptakan hegemoninya, ormas Islam melakukan perang posisi agar ideologi nilai konservatif agama yang mereka anut mendapatkan dukungan melalui propaganda media massa, membangun aliansi strategis, dan sebagainya (Jannah, 2019).
Kami pun menemukan berbagai upaya ormas berbasis agama dalam melakukan perang posisinya, terdapat beragam tagar penolakan terhadap Permendikbud No. 30/2021 dapat kita temukan di berbagai media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Twitter. Sebagai contoh, tagar #CabutPermendikbudristekNo30, jika dilihat merepresentasikan ketidaksetujuannya ormas Islam terhadap Permendikbud tersebut karena mempraktekan legalisasi zina.Â
Menurut Gramsci, masyarakat politik merujuk pada negara dengan institusi publik yang memegang kekuasaan untuk melaksanakan hubungan koersif. Sebetulnya sebagai negara yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 ini penting, namun dalam kasus Permendikbud 30/2021 ini, agama seakan digunakan menjadi tameng untuk menggagalkan upaya pengusutan kekerasan seksual di ruang lingkup kampus yang seperti "iceberg".