Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Debat Pilkada di TV Nasional, Semata Karena Gengsi?

3 November 2024   22:36 Diperbarui: 4 November 2024   08:54 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot dari YT Official iNews

Pilkada serentak tahun ini, menjadi hal yang paling membahagiakan buatku, karena yang disiarkan, gak melulu seputar Jakarta.

Ya bagaimana tidak, TV-TV berita pada kebanjiran order dari KPU daerah buat sewa slot jam tayang debat publik berikut penyelenggaraannya. Saking banyaknya, ada yang harus menyiarkannya lewat streaming YouTube karena keterbatasan slot tayangan!

Bahkan, stasiun TV umum macam duo Trans juga di-booking penyelenggaraannya debat oleh beberapa KPU daerah, lalu merealisasikannya. Dengan alasan, menimbang netralnya media tersebut yang jadi incaran sebagian dari mereka buat menggelar debat yang bebas keterpihakan pada salah satu partai politik.

Karena mereka percaya, di era disrupsi digital seperti ini, toh TV masih dibutuhkan. apalagi untuk kalangan yang lebih suka menonton debat lewat TV sekalipun generasi muda, warga yang memiliki keterbatasan kuota internet, juga pemilih dari generasi baby boomers dan di bawahnya yang masing-masing berjumlah 28 juta dan 3,5 juta orang, yang sudah jelas sangat tertinggal dalam pengoperasian teknologi.

Jadi, hampir semua grup media menggelar debat pilkada, kan? 

Hmmm, Emtek gimana ya? Sayangnya MOJI padat jadwalnya, soal live voli gak mau diganggu. Yang lain, pada mentingin rating, sih.

Namun, apakah penyelenggaraannya debat di TV nasional hanya gengsi belaka? Atau, karena pertimbangan hal-hal tertentu?

Soalnya, debat pilkada yang disiarkan seperti ini memang ada pro kontranya. bahkan ada yang menuangkan uneg-unegnya di berbagai media sosial. Akan aku lampirkan salah satu cuitan di X yang telah aku baca pagi hari ini.

screenshot dari X
screenshot dari X

Nah, yang bersuara soal penyelenggaraannya debat di TV yang sebaiknya di TV lokal, apa udah "main jauh" ke pelosok sana?

Tentu ada alasan kenapa KPU lebih memilih TV nasional buat penyiaran debat pilkada. Bukan buat gaya-gayaan biar seluruh Indonesia yang nonton. Gak kan?

Mereka paham koq, tayangan yang disiarkan akan disaksikan oleh warga daerahnya saja. Seperti tayangan azan magrib dan subuh untuk wilayah Jakarta, tentunya hanya akan bermanfaat untuk warga Jakarta. kalau dilihat sama warga daerah lain, ya gak nyambung lah, kecuali untuk azan khusus waktu lokalnya di jalur UHF.

Berangkat dari fakta, tidak semua daerah punya TV lokal sendiri, kalaupun ada, tidak semua TV lokal bersiaran di satelit. Karena buat menyewa transponder satelit, tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga kebanyakan TV lokal hanya bersiaran lewat jalur terestrial.

Lalu, untuk daerah yang tidak terjangkau siaran terestrial (yang pakai antena UHF), rata-rata warga di sana menggunakan parabola. Kalau untuk ukuran zaman sekarang, mereka tidak lagi pakai STB parabola yang mendukung format gambar MPEG2 yang biasanya digunakan oleh pemancar UHF untuk siaran analog. Grup-grup besar saja udah lebih berfokus pada siaran MPEG4 yang kualitas HD, dengan Transmedia menjadi grup media besar terakhir yang memutuskan mencabut dukungannya pada format MPEG2 per 1 Januari 2024.

Malah, yang aku temui di medsos, bahkan pegakuan saudara tetanggaku yang tinggal di pelosok Bengkulu, daerah-daerah blankspot rata-rata pakai TV berlangganan. Mau parabola jaring atau mini, tetap membutuhkan isi paket untuk bisa menikmati berbagai channel, dan stasiun TV nasional, sudah pasti ada di daftar tersebut. 

Lalu, bagaimana dengan TVRI daerah? Lagi, tidak semua tersedia di TV berlangganan itu! Apalagi TV lokal, duuh di TV berlangganan, kemungkinan tidak ada.

Dan tak hanya itu saja, di daerah pelosok, tak cukup kesulitan untuk mengakses siaran TV terestrial, bahkan untuk urusan internet saja ngos-ngosan. ditambah lagi persoalan listrik yang kedap-kedip bagiamana hidupnya. Jadi, yang paling mudah, lewat siaran TV via parabola itu.

Karena itulah, sungguh keputusan yang sangat cerdas dari KPU Kabupaten Berau (Kaltim) yang menggelar debat pilkada di Jakarta, lalu disiarkan lewat TV nasional, dengan alasan yang telah kujelaskan di atas. Tentunya sudah dikaji dengan lebih matang, sehingga terhindar dari penggunaan anggaran yang mubazir, meskipun, ya tetap saja ada kritikan oleh sebagian warga di sana, bahkan sekelas akademisi di Universitas Mulawarman sekalipun.

Bisa dilihat hasilnya, ketika aku pantau dari media sosial, banyak warga di sana yang menonton debat dari rumah maupun beramai-ramai di lapangan dengan layar tancapnya. Suatu langkah yang cukup sukses menarik perhatian masyarakat untuk lebih tergerak menggunakan hak pilihnya.

Coba bandingkan dengan warga Pangandaran, yang kekecewaan memenuhi hatinya, karena debat yang dinanti-nanti, hanya ditayangkan oleh TV lokal yang nyatanya tidak bisa diakses oleh masyarakat di wilayah itu, karena ya maklum sendiri, karena alasan geografis, mereka pakai antena apa untuk menangkap siaran TV-nya!

PEMBERDAYAAN TV LOKAL, HARUS MEMPERTIMBANGKAN JANGKAUAN SIARAN JUGA!

Karena jumlah daerah yang mengikuti pilkada serentak secara nasional adalah 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, tentunya tidak semua daerah bisa dilayani penyelengaraan debat pilkada di TV nasional, belum lagi tergantung anggaran KPUD buat sewa slot jam tayang debat pilkada yang memakan dana sampai ratusan juta rupiah, terlebih saat jam primetime yang pastinya, mematok biaya yang lebih tinggi lagi.

Makanya, tentu hal yang sangat kusyukuri, akhirnya TV lokal ikut serta dalam penyiaran debat pilkada, toh keterlibatan mereka adalah keberuntungan, memanfaatkan momen pesta rakyat yang hanya datang lima tahun sekali. Soalnya, kehidupan TV-TV lokal ya begitulah. Hidup segan mati tak mau. Selalu mencari cara buat tetap bertahan hidup di tengah gempuran TV nasional yang ambisius menarik perhatian pemirsa dengan program unggulannya. 

Akibatnya, minim iklan yang masuk kecuali iklan (peng)obat(an) lokal, dan satu-satunya momen emas bagi mereka yaitu saat bulan Ramadan di mana menjelang magrib, para pejabat dan tokoh beramai-ramai mengucapkan selamat berbuka puasa, yang mungkin mendatangkan berkah dan cuan bagi TV-TV lokal itu. Parahnya lagi, banyak juga TV lokal yang tutup, juga ada yang diakuisisi stasiun nasional menjadi cabang dari jaringan TV di daerah karena alasan yang sama di atas tadi!

Di samping itu, keterlibatan TV lokal dalam menyiarkan debat pilkada sejalan dengan PKPU tentang kampanye, yang menganjurkan KPU daerah untuk menggunakan lembaga penyiaran lokal demi pemberdayaan stasiun TV tersebut.

Akan tetapi, yang harus jadi catatan buat kerjasama dengan TV lokal oleh KPUD, tentunya KPUD tidak bisa seenaknya, ujug-ujug langsung deal. Karena harus mempertimbangkan jangkauan siaran untuk bisa diakses di semua wilayah.

Jika TV lokal bisa diakses lewat antena biasa dan untuk wilayah ibukota provinsi atau kabupaten yang bisa dijangkau seluruhnya dengan itu, atau lewat parabola bagi pengguna STB satelit yang bisa menerimanya, silakan saja debat pilkada disiarkan lewat TV itu. Kalau memang nyatanya hanya sebagian wilayah yang terjangkau siarannya, khawatirnya seperti warga Pangandaran yang menelan kekecewaan seperti yang kujelaskan tadi, bukan?

KEGAGALAN MENAYANGKAN DEBAT PILKADA, TAMPARAN UNTUK TV LOKAL

Ketika KPUD Banda Aceh menayangkan debat pertama pilwakot Banda Aceh, ada segurat kekecewaan yang terlihat dari wajah warganya. Ternyata, waktu penayangannya bersamaan dengan debat pertama Pilgub Jawa Tengah yang tentu TV-TV berita memprioritaskan untuk menyiarkannya. 

Malah lebih dari stasiun TV yang menayangkannya, lagi! Alhasil, mereka hanya (bisa) menyiarkannya lewat streaming YouTube.

Lha, bagaimana bisa terjadi? Karena mungkin saja mereka lebih memilih TV nasional karena lebih gengsi aja dengan nama besar stasiun TV itu, sayangnya jadwal siaran debat pilkada sudah padat dengan pesanan penyelengaraan debat oleh KPU daerah yang menjalin kerjasama.

Nah, kalau begini, kemanakah peran TV lokal selama ini? Di sana ada kan? 

Itulah yang jadi tamparan buat TV lokal buat mengkader SDM-nya biar bisa setara dengan TV nasional. Minimal, punya moderator handal yang bisa memandu jalannya debat sekelas pilkada. Lebih bagus lagi kalau punya pembawa acara yang pernah menimba pengalaman kerja di berbagai TV nasional, agar pas kembali mengabdi di TV lokal daerah, sudah cakap untuk membawakan acara debat.

Lalu, kalau memang tak bisa juga? 

TV lokal bisa saja "menyewa" moderator dari TV nasional, namun tetap ditayangkan lewat TV lokal dan debatnya tetap di daerah seperti yang dilakukan oleh KPUD Muaro Jambi. Tapi, ya cuma opsi sementara aja. 

Sebaliknya, TV lokal harus berusaha buat membina host-nya untuk bisa cakap dalam memandu jalannya debat dengan cara apa saja. Atau, rekrut mantan presenter TV nasional yang ingin berkarier di daerah sebagai cara paling praktis.

Tapi, ya susah juga sih, TV lokal yang tidak begitu mapan, dapet cuan banyak ya pas ada momen musiman. Atau TV lokal itu punya hubungan dengan bisnis (media) lainnya seperti koran.

Nah, masih ada lima tahun koq. Yuk TV lokal yang ada dan bisa diakses satu wilayah, saatnya berdikari dengan "menciptakan" moderator sendiri!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun