Mereka paham koq, tayangan yang disiarkan akan disaksikan oleh warga daerahnya saja. Seperti tayangan azan magrib dan subuh untuk wilayah Jakarta, tentunya hanya akan bermanfaat untuk warga Jakarta. kalau dilihat sama warga daerah lain, ya gak nyambung lah, kecuali untuk azan khusus waktu lokalnya di jalur UHF.
Berangkat dari fakta, tidak semua daerah punya TV lokal sendiri, kalaupun ada, tidak semua TV lokal bersiaran di satelit. Karena buat menyewa transponder satelit, tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga kebanyakan TV lokal hanya bersiaran lewat jalur terestrial.
Lalu, untuk daerah yang tidak terjangkau siaran terestrial (yang pakai antena UHF), rata-rata warga di sana menggunakan parabola. Kalau untuk ukuran zaman sekarang, mereka tidak lagi pakai STB parabola yang mendukung format gambar MPEG2 yang biasanya digunakan oleh pemancar UHF untuk siaran analog. Grup-grup besar saja udah lebih berfokus pada siaran MPEG4 yang kualitas HD, dengan Transmedia menjadi grup media besar terakhir yang memutuskan mencabut dukungannya pada format MPEG2 per 1 Januari 2024.
Malah, yang aku temui di medsos, bahkan pegakuan saudara tetanggaku yang tinggal di pelosok Bengkulu, daerah-daerah blankspot rata-rata pakai TV berlangganan. Mau parabola jaring atau mini, tetap membutuhkan isi paket untuk bisa menikmati berbagai channel, dan stasiun TV nasional, sudah pasti ada di daftar tersebut.Â
Lalu, bagaimana dengan TVRI daerah? Lagi, tidak semua tersedia di TV berlangganan itu! Apalagi TV lokal, duuh di TV berlangganan, kemungkinan tidak ada.
Dan tak hanya itu saja, di daerah pelosok, tak cukup kesulitan untuk mengakses siaran TV terestrial, bahkan untuk urusan internet saja ngos-ngosan. ditambah lagi persoalan listrik yang kedap-kedip bagiamana hidupnya. Jadi, yang paling mudah, lewat siaran TV via parabola itu.
Karena itulah, sungguh keputusan yang sangat cerdas dari KPU Kabupaten Berau (Kaltim) yang menggelar debat pilkada di Jakarta, lalu disiarkan lewat TV nasional, dengan alasan yang telah kujelaskan di atas. Tentunya sudah dikaji dengan lebih matang, sehingga terhindar dari penggunaan anggaran yang mubazir, meskipun, ya tetap saja ada kritikan oleh sebagian warga di sana, bahkan sekelas akademisi di Universitas Mulawarman sekalipun.
Bisa dilihat hasilnya, ketika aku pantau dari media sosial, banyak warga di sana yang menonton debat dari rumah maupun beramai-ramai di lapangan dengan layar tancapnya. Suatu langkah yang cukup sukses menarik perhatian masyarakat untuk lebih tergerak menggunakan hak pilihnya.
Coba bandingkan dengan warga Pangandaran, yang kekecewaan memenuhi hatinya, karena debat yang dinanti-nanti, hanya ditayangkan oleh TV lokal yang nyatanya tidak bisa diakses oleh masyarakat di wilayah itu, karena ya maklum sendiri, karena alasan geografis, mereka pakai antena apa untuk menangkap siaran TV-nya!
PEMBERDAYAAN TV LOKAL, HARUS MEMPERTIMBANGKAN JANGKAUAN SIARAN JUGA!
Karena jumlah daerah yang mengikuti pilkada serentak secara nasional adalah 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, tentunya tidak semua daerah bisa dilayani penyelengaraan debat pilkada di TV nasional, belum lagi tergantung anggaran KPUD buat sewa slot jam tayang debat pilkada yang memakan dana sampai ratusan juta rupiah, terlebih saat jam primetime yang pastinya, mematok biaya yang lebih tinggi lagi.