Setiap tahun, selalu lahir pahlawan-pahlawan baru. Tak terkecuali pada tahun ini.
Bahkan, sepanjang era Pemerintahan Jokowi telah berhasil "menelurkan" pahlawan-pahlawan yang belum ada sebelumnya. Sebut saja Raden Mattaher, Depati Amir, dan Ibu Agung Andi Depu.
Dan di rezim itulah, juga "menghidupkan" pahlawan yang terlupakan namun telah tercatat sejarah macam Malahayati dan Sultan Baabullah.
Nah, apa gelar-gelar tersebut diperoleh secara langsung? Oh, sayangnya bukan begitu.
Tidak mungkinlah gelar Pahlawan Nasional didapat tanpa bukti. Dengan kata lain, perlu suatu kajian yang diserahkan kepada Kementerian Sosial untuk menyatakan bahwa sosok dan nilai kepahlawanan yang melekat pada dirinya itu, benar-benar ada.
Maka, di situlah ilmu sejarah diperlukan untuk memainkan peranan di dalamnya. Kalau beberapa bulan yang lalu lagi "ribut-ribut" mata pelajaran tersebut akan dihapus di sekolah-sekolah, harusnya mereka merenung dan mengandaikannya;
Kalau tidak ada sejarah, yang hidup di masa kini bakal kebingungan karena tak ada panduan dari orang-orang dahulu!
ADA TIDAKNYA BUKTI, MENENTUKAN EKSISTENSI SANG PAHLAWAN
Memang, diriku memang bukan ahli sejarah, namun akhir-akhir ini, saya gemar baca bermacam-macam berita tentang pengusulan gelar Pahlawan Nasional dari berbagai daerah. Dari itulah ditarik benang kesimpulannya; "Oh, memang seperti itu!"
Tapi, nasib pengusulannya berbeda-beda. Ada yang langsung diterima, ada yang harus menunggu bertahun-tahun sampai ganti presiden, baru bisa diterima, parahnya lagi, ada pula yang ditolak, bahkan sampai saat ini!
Rata-rata, usulan yang ditolak, itu disebabkan oleh kurangnya bukti. Minimal, ada bukunya. Peninggalannya. Bukti jejaknya. Kalau tak punya itu, mana mungkin bisa diajukan?
Karena itulah, benarlah jika buku itu mengantarkannya pada keabadian. Akan terus dikenang sepanjang waktu, apalagi yang menuliskannya itu adalah sang tokoh yang diusulkan jadi calon pahlawan.Â
Atau, buku tentang sang tokoh (plus fotonya) yang ditulis oleh orang lain itu memang sudah bisa tak dibantah lagi, bahwa tokoh tersebut benar-benar pernah hidup di dunia.
Lebih bagus lagi jika ada peninggalannya, sebagai cerminan eksistensi sang pahlawan masa depan. Seperti misalnya, gedung Sekolah Amai Setia, yang didirikan Rohana Kudus atau rumah kayu tempat gugurnya Raden Mattaher. Atas dasar itulah mereka dijadikan Pahlawan Nasional, yakan?
Namun, ada kalanya tokoh yang diusulkan itu antara nyata dan mitos. Betulan atau fiktif. Di tengah kebimbangan itu, beruntung ada ilmuwan asing yang bersedia mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk meneliti sejarah bangsa kita.
Seperti MC Ricklefs yang telah wafat tahun kemarin, meninggalkan karya besar yang jadi rujukan ilmu sejarah di Indonesia terutama di perguruan tinggi, yang ternyata, bisa membantah anggapan bahwa Ratu Kalinyamat bukanlah tokoh fiksi, melainkan sosok yang nyata!
Tak hanya ilmuwan luar negeri saja, dulu para bangsa asing yang menjajah tanah tumpah darah kita ini, memang rajin menuliskan kejadian pada saat itu, termasuk pada saat perang. Siapa sangka, kalau hal ini bisa bermanfaat bagi generasi selanjutnya, sebagai penguat akan masa lalu sang tokoh?
Bahkan, dengan catatan yang berkembang jadi buku, bisa menemukan tempat jejak terakhir yang kini, dijadikan makam Cut Meutia di pedalaman hutan Aceh Utara!
Maka dari itu, harus diakui, kalau ilmu sejarah harus ada sumber primer-nya, dalam artian bukti peninggalannya. Bukti primer itu, jika diteliti dan dikaji, akan mengasilkan ilmu tentang kejadian masa lalu atau sang tokoh yang terlibat di dalamnya, yang hasilnya diabadikan lewat buku.
Dan, kegiatan kajian itu tak mesti dalam rangka pengajuan sang tokoh menjadi Pahlawan, lho. Setiap hari adalah hari-hari para sejarawan meneliti sesuatu yang telah lewat. Kelak, ketika ada usulan tentang sosok yang hendak dijadikan Pahlawan Nasional, para sejarawan tersebut sudah siap dengan keilmuannya, memberi keterangan yang sesuai dengan pengetahuannya.
Demikianlah, tradisi ilmiah tentang pengajuan kepahlawanan seseorang, itu nyata adanya, sebagai spirit tokoh yang tetap hidup lewat nilai-nilai dan peninggalannya, walaupun raga telah lenyap ditelan bumi.
Lewat kajian keilmuan yang dilakukan pada proses pengajuannya, tak diragukan lagi bahwa ketika tokoh itu dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, hal-hal yang berkaitan dengannya akan disebarkan lewat media-media, ke khalayak ramai.
Atau, bisa juga lewat buku-buku pelajaran sebagaimana yang kupelajari saat bersekolah dulu, yang dengan proses pengajuan itulah yang membuat kami tahu tentang pelajaran tentang penjajahan serta perang melawan kolonial yang terjadi di berbagai daerah!
Kalau begitu, masihkah kalian ragu sejarah itu tidak bermanfaat?
Setidaknya, perjuangan pahlawan yang susah payah termasuk upaya mengabadikannya, harusnya membuat kalian menghargai apa yang mereka perbuat untuk negeri ini!
Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H