Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Adik Jadi Raja Selanjutnya? Boleh Juga!

8 November 2020   19:35 Diperbarui: 8 November 2020   20:05 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaisar Naruhito (depan) dan Putra Mahkota Fumihito (belakang). Sumber gambar: Lecturas

8 November 2020 adalah hari bersejarah bagi Kekaisaran Jepang Modern. Pangeran Fumihito, adik Kaisar Naruhito, dikukuhkan sebagai Putra Mahkota.

Nah, saat Akishino---nama lainnya---telah resmi menyandang sebagai pewaris takhta Seruni, tak diragukan lagi, mempertegas bahwa hanya laki-laki-lah yang bisa naik takhta.

Padahal, selama ini jabatan Kaisar Jepang diwariskan turun-temurun, dari yang berkuasa ke anaknya, cucunya, cicitnya, daaaan seterusnya. Sayangnya, tidak demikian dengan Kaisar Naruhito, sudah anaknya tunggal, perempuan pula.

Hal ini yang memicu perdebatan tentang siapakah penerus kekaisaran selanjutnya. Beruntung, Pangeran Hisahito lahir waktu itu. Jadi, masih ada harapan lah untuk mempertahankan suksesi kekaisaran.

Toh, sebetulnya keinginan kakak menyerahkan takhta ke adik itu sempat jadi rencana lama di lingkungan kekaisaran Jepang.

Sebelum Akihito ada, anak-anak Hirohito waktu itu terlahir perempuan. Kalau begitu, cemaslah pemangku istana sampai mendatangkan wanita-wanita sebagai calon selir. Namun, Kaisar Showa ogah memenuhi permintaan pemuka kekaisaran karena alasan setia pada satu-satunya belahan jiwa, Permaisuri Kojun.

Malah, beliau berkata akan menyerahkan takhta pada Pangeran Chichibu kalau tetap melahirkan anak perempuan!

Pernyataan itulah, mungkin, mendasari mengapa Pangeran Fumihito ditetapkan sebagai putra mahkota. Mengapa bukan Putri Aiko sebagai turunan langsung Kaisar Naruhito, ya sudah pasti, perempuan dilarang menduduki singgasana.

Walaupun demikian, kaisar wanita memang pernah ada di Jepang, dimulai dari Maharani Suiko yang mulai tahun 593 sampai yang terakhir, Maharani Go-Sakuramachi yang turun tahkta tahun 1771. Menang gak berurutan sih, karena ada "selingan" kaisar yang bertakhta di antaranya, namun jumlah keseluruhan, ada delapan maharani Jepang yang bertakhta.

***

Memang, Jepang tak sendiri kalau menyoal suksesi. Thailand pun begitu.

Mendiang Raja Bhumibol Adulyadej yang sangat dicintai rakyatnya itu, toh sebetulnya adalah adik (dan kelanjutan) dari Raja Ananda Mahidol yang kemudian masa kekuasaannya berakhir akibat tembakan di istananya.

Lalu, ketika Raja Bhumibol mangkat setelah berkuasa selama 70 tahun, langsung diteruskan oleh Vajiralongkorn yang sejak awal diwarnai kontroversi. Malah, sebagian rakyat Thailand menginginkan Siridhorn yang mewariskan kharisma dari sang ayah menjadi penguasa selanjutnya.

Tapi, apa daya. Lagi-lagi pemimpin kerajaan harus laki-laki.

Hmmm, demi bisa meneruskan kekuasaan dengan lebih baik atau berjalan lancar, mengapa tidak melirik perempuan sebagai pemimpin monarki seperti yang dipraktekkan di Eropa masa kini?

Sayang sekali, di Asia enggak seperti itu!

Memang, sepanjang sejarah Asia pernah ada pemimpin perempuan, tak cuma di Jepang, juga sempat muncul di bumi Nusantara. Tentu kalian tahu Ratu Shima dari Kalingga yang terkenal dengan kejujurannya, atau Tribhuana Tunggadewi yang menjadi penguasa Majapahit.

Toh, kepemimpinan ujung-ujungnya akan kembali ke tangan laki-laki, kok. Pasalnya, kultur di Asia memang cenderung patriarki, yakni sistem sosial yang menempatkan laki-laki menjadi pemegang kekuasaan yang utama.

Intinya, dalam urusan pemerintahan termasuk pemimpin monarki (entah raja, kaisar, sultan, atau emir), pastinya diutamakan laki-laki---bahkan, harus!

Selain itu, di negeri-negeri kerajaan atau kesultanan Islam, memang pemimpin laki-laki adalah yang sesuai dengan yang termaktub kitab suci mereka. Karena, lelaki itu adalah pemimpin dan sudah jelas, diberi kelebihan tersendiri dibanding perempuan.

Akan tetapi, di zaman yang memungkinan pemimpin perempuan bisa diterima, bahkan di Eropa sekalipun, mungkinkah hal yang sama akan hadir di Asia dengan impian rakyat Jepang menyaksikan Putri Aiko naik takhta menjadi Maharani di zaman modern?

Hmmm, sepertinya mustahil, selama budaya patriarki masih ada dan mengakar dalam jati diri penduduk Benua Kuning itu.

Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun