Lalu, ketika Raja Bhumibol mangkat setelah berkuasa selama 70 tahun, langsung diteruskan oleh Vajiralongkorn yang sejak awal diwarnai kontroversi. Malah, sebagian rakyat Thailand menginginkan Siridhorn yang mewariskan kharisma dari sang ayah menjadi penguasa selanjutnya.
Tapi, apa daya. Lagi-lagi pemimpin kerajaan harus laki-laki.
Hmmm, demi bisa meneruskan kekuasaan dengan lebih baik atau berjalan lancar, mengapa tidak melirik perempuan sebagai pemimpin monarki seperti yang dipraktekkan di Eropa masa kini?
Sayang sekali, di Asia enggak seperti itu!
Memang, sepanjang sejarah Asia pernah ada pemimpin perempuan, tak cuma di Jepang, juga sempat muncul di bumi Nusantara. Tentu kalian tahu Ratu Shima dari Kalingga yang terkenal dengan kejujurannya, atau Tribhuana Tunggadewi yang menjadi penguasa Majapahit.
Toh, kepemimpinan ujung-ujungnya akan kembali ke tangan laki-laki, kok. Pasalnya, kultur di Asia memang cenderung patriarki, yakni sistem sosial yang menempatkan laki-laki menjadi pemegang kekuasaan yang utama.
Intinya, dalam urusan pemerintahan termasuk pemimpin monarki (entah raja, kaisar, sultan, atau emir), pastinya diutamakan laki-laki---bahkan, harus!
Selain itu, di negeri-negeri kerajaan atau kesultanan Islam, memang pemimpin laki-laki adalah yang sesuai dengan yang termaktub kitab suci mereka. Karena, lelaki itu adalah pemimpin dan sudah jelas, diberi kelebihan tersendiri dibanding perempuan.
Akan tetapi, di zaman yang memungkinan pemimpin perempuan bisa diterima, bahkan di Eropa sekalipun, mungkinkah hal yang sama akan hadir di Asia dengan impian rakyat Jepang menyaksikan Putri Aiko naik takhta menjadi Maharani di zaman modern?
Hmmm, sepertinya mustahil, selama budaya patriarki masih ada dan mengakar dalam jati diri penduduk Benua Kuning itu.
Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!