Lalu, ada lagi. Pernah ya, pamer nilai, lalu temanku menegur seraya berkata yang masih membekas sampai sekarang, "jangan pamer!".Â
Ya, itulah awal mulanya mengapa diriku enggan memamerkan kemampuanku di depan orang lain, sampai sekarang.
Tapi, katanya, harus meningkatkan diri sendiri, memaksimalkan kelebihan, biar dipandang hebat, kok malah ingin jadi orang biasa?
Ya , itu! Dalam kehidupan tertentu, malah harus memposisikan diri sebagai orang kebanyakan, se-terkenal apa pun dia. Biar lebih tenang, sih.
Soal itu, jadi teringat apa yang kudengar di siaran radio, bahwa seorang Prie GS, budayawan yang dikenal dengan refleksinya itu, malah ingin jadi orang biasa dalam menghadiri suatu acara.
Belum lagi Mohammad Hatta, yang malah berangkat ke Tanah Suci sebagai rakyat biasa dan menolak menggunakan fasilitas negara, padahal saat itu menjabat sebagai wakil presiden!
Kalau melihat dua orang itu tadi, apa susahnya jadi orang biasa saja? Dunia itu kejam lho, hanya berpihak pada orang-orang tertentu di tengah persaingan yang melibatkan kemampuan, yang bahkan sama!
Lihat, juara kelas, peraih medali emas Olimpiade, bukankah itu orang-orang pilihan yang layak menerimanya, setelah melintasi jalan perjuangan yang penuh duri?
Jadi, sekeras apa pun usaha dia, kalau takdir tidak menginginkan dia juara, ya gagal. Sudahlah, jangan terlalu ambisius dalam mengejar sesuatu, kalau tidak ingin capek sendiri!
Toh, juara dan prestasi itu juga rezeki, kok. Maka terimalah apa pun hasilnya. Ada yang hanya sampai meraih medali emas sekelas SEA Games, misal, itu lebih baik ketimbang atlet yang tidak meraih juara sama sekali?
Selain itu, menjadi orang biasa itu, bisa menghindarkan diri dari kesombongan. Bagaimana tidak, kalau anak SMA pamer kepintaran di bidang fisika, dia merasa hebat dibanding yang lain, iya kan?