Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

4 Hal yang Mungkin Akan Terjadi jika Indonesia Menjadi Negara Maju

28 Februari 2020   17:45 Diperbarui: 29 Februari 2020   09:48 3202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Waterfall Security

Hmmm, ada-ada saja si Amrik ini, Indonesia naik level sama dia jadi negara maju!

Nah, peningkatan status yang membuat negara tak lagi berkembang (alias selangkah lagi lebih maju, hehe) mungkin, dilakukan sepihak. Tak ada campur tangan PBB, organisasi dunia, dan lembaga internasional. Intinya, sekehendaknya Paman Sam dong!

Namun, jauh sebelum itu, saya sudah merenungkan kalau seandainya Indonesia jadi negara maju dan segala risikonya. Tapi, baru menuliskannya sekarang. Maklum, lagi sibuk menulis tema lain.

Ya, mumpung ada momennya, lagi rame bahas lho ini!

Dan, karena saya bukan ahli ekonomi, diriku akan bedah seluruhnya di segala sisi, apa yang terjadi jika Indonesia berubah jadi negara maju.

Harganya Serba Mahal

Sumber gambar: Global Business Outlook
Sumber gambar: Global Business Outlook
Risiko negeri maju, segalanya serba melangit....

Biaya hidup di negara maju itu tinggi, lho, makanya kalau mau menuju ke sana harus siap-siap dengan harganya yang serba muahal. Sampai-sampai harga kebutuhan pokok pun harganya bikin kalian kaget!

Misalnya, kalau boleh kutip di sini ya, harga beras di Indonesia (pada tahun 2019) rata-rata Rp 12.374, di Jepang lain lagi harganya. Walaupun berasnya diproduksi di negeri sendiri, tetap saja mahal. Kalau dikonversi jadi rupiah, harganya menjadi 57.678!

Ditambah lagi kalau soal tempat tinggal. Di sini, bayar kos cukup Rp 600 ribu untuk yang berukuran kecil. Tapi di Swiss sana, sewa tempat tinggal berukuran 80-100 meter/persegi harus merogoh kocek CHF 2000 atau 28 juta rupiah!

Makanya, punya uang 84 juta rupiah di negeri Alpen nan indah ini dianggap masih pas-pasan, beda kalau di Indonesia, uang segitu udah jadi horang kaya!

Ya, begitulah konsekuensinya. Hidup di negara maju menuntut rakyatnya untuk berpendididikan tinggi, minimal S1 lah. Lagi pula, semakin tinggi tingkat pendidikannya, makin dihargai di dunia kerja dan ujung-ujungnya, upahnya semakin besar!

Dan, bagi yang berpenghasilan rendah, sepertinya akan irit ekstra untuk kebutuhan sehari-hari, dan beli barang dengan harga murah dan bisa ditawar. Habisnya, kebanyakan yang dijumpai di market harganya di luar jangkauan, sih. 

Tapi, apa Indonesia sudah bergerak ke sana?

Sebagian generasi muda sudah melakukannya, apalagi yang menyadari bahwa pendidikan itu penting. Mereka banyak yang kuliah, bahkan sampai ke luar negeri sana bahkan ada lho, pekerja migran yang menuntut ilmu di negeri orang dan kampus terbuka!

Apa pun jurusannya, tujuannya tetap sama: mendapat karier yang lebih baik, gajinya gede, sekaligus memajukan negaranya, bukan?

Budaya Tradisional Semakin Memudar

Pameran Batik. Sumber gambar: Pipnews.co.id
Pameran Batik. Sumber gambar: Pipnews.co.id
Jujur ya, negara kita ini sebenarnya kaya raya, 300 suku bangsa dan 700 bahasa dengan berbagai dialeknya terbentang dari Sabang hingga Merauke. Di balik itu semua, kebanyakan di antaranya masih lestari sampai saat ini!

Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, lama-kelamaan kebudayaan tradisional semakin memudar. Anak-anak mudanya ogah menetap di desa. Maunya sih pindah ke kota, yang jadi penyebab mayoritas masyarakat Indonesia yang tinggal di sana, yang presentasenya mencapai 59,35%!

Padahal, selain gunung (kalau kaitannya dengan kebudayaan sih, gak usah diragukan lagi!) ada satu faktor lain yang membuat budaya tradisional tetap eksis. Desa Adat namanya. Desa itulah yang masih menerapkan adat istiadat dalam keseharian, membuat kearifan lokal tetap hidup.

Desa adat Praijing. Sumber gambar: Kumparan
Desa adat Praijing. Sumber gambar: Kumparan
Namun, sekali lagi, apa generasi mudanya rela menempati desa adat sebagai penerus dari orangtua, dan nenek moyang terdahulu? Sudah tahu mereka orangnya bebas, 'kan, gak mau terikat dengan aturan ini-itu yang dianggapnya kuno. Fleksibel deh pokoknya!

Ditambah lagi, sebagai konsenkuensi dari negara yang bergerak menuju kemajuan, muda-mudi yang hidup di dalamnya, gaya hidupnya lebih ke kebarat-baratan. Parah.

Kalau mau buktinya, lihat Korea. Negeri K-Pop ini sekarang lebih ke gaya Amerika. Pakaiannya lebih menyerupai apa yang dikenakan wanita barat, sampai pernikahannya juga, mengadopsi ala Eropa, alih-alih dilakukan secara tradisional. Pakaian Hanbok jarang terlihat kecuali pada saat-saat tertentu.

Itu pun gak semuanya seperti itu. Jepang misalnya, banyak rumahnya yang bergaya tradisional dan pakai tatami. Banyak juga kebudayaan yang masih dilestarikan di musim panas. Harusnya Indonesia harus meniru hal ini juga, walaupun sudah jadi negara maju!

Oh ya, kalau negaranya sudah maju, perlahan-lahan desa berubah menjadi kota, (mungkin) termasuk desa adat yang bisa saja membuat murka orang-orang tradisionalis. Pemandangan alam makin jarang dijumpai.

Lihatlah, Singapura sudah mengalaminya, kecuali satu desa yang disisakan. Jepang pun sama; banyak desa berubah jadi kota dalam skala kecil.

Kalau begitu, mau ngadain upacara tradisional yang mengandalkan alam jadi kesulitan, 'kan?

Tidak Lagi Negeri Agraris, Malah Jadi Negara Industri!

Sumber gambar: Waterfall Security
Sumber gambar: Waterfall Security
Dulu, waktu pelajaran di sekolah, guru kita pernah mengajarkan bahwa Indonesia, selain negara maritim, juga negeri agraris. Tapi, apa yang kita lihat sekarang ini, realitanya sungguh berbeda.

Bahkan kalian pun bersaksi dengan mata kepala sendiri, banyak anak muda yang tak mau bertani dan berternak. Gak keren! Malah sebaliknya, kerja kantoran pun bisa memberikan kebanggaan.

Hmmm, benar juga. Negara yang sedang maju, berarti sedang bergerak ke negara industri. Kuliah yang dijalani empat tahun pun ujung-ujungnya diserap di dunia industri, ya 'kan?

Gara-gara hal itu, sawah dan kebun yang telah lama digarap turun-menurun serta peternakan yang dipelihara oleh para leluhur terdahulu, akhirnya dijual dan dipindah tangankan untuk membuat pabrik. 

Ujung-ujungnya, luasan sawah, kebun dan tanah perternakan makin berkurang. Padahal, pertanian dan perternakan adalah jantung yang memompa kesejahteraan rakyat, bukankah begitu?

Coba, kalau seandainya lahan sawah tak ada, tanah perkebunan dan perternakan telah habis. Padi mau ditanam di mana? Buah-buahan juga, di manakah tempat untuk menyemaikan benihnya? Hewan ternak pun begitu, bingung cari tempat untuk mengembala dan dipelihara gara-gara tanahnya tergusur untuk keperluan industri!

Walaupun sekarang ini telah berkembang pertanian hidroponik, namun tanaman yang tumbuh dari dalam tanah, jelas lebih utama.

Maka dari itulah, walaupun negara telah maju, jangan lupakan pertanian dan perternakannya. Amerika Serikat saja bisa mandiri dengan komoditas yang sebagian besarnya diproduksi sendiri. Kalaupun ada yang impor, ya nggak sebanyak itu!

Jadi Negara Maju, Peluang Kerusakan Lingkungan Semakin Besar

Sumber gambar: NRDC
Sumber gambar: NRDC
Katanya, biar jadi negara yang setara dengan negara-negara maju di dunia, harus dilakukan pembangunan infrastruktur (ya seperti yang dilakukan pemerintahan sekarang, gitu), di samping mendirikan banyak industri yang sedang gencar-gencarnya. Tapi, sadar gak kalau apa yang dilakukan justru dapat merusak lingkungan (kalau tidak dikendalikan dengan baik)?

Lihatlah pembangunan jalan tol, mau gak mau harus mengorbankan hutan tropis. Berkebun kelapa sawit pun begitu, atas nama industri dan permintaan pasar yang meningkat, si hijau lebat tempat berbagai makhluk bernaung harus dibuka dan dibakarnya, yang mengakibatkan satwa liar menuai protes. Duuh, amat serakah, ya.

Akhirnya, sudah berubah jadi negara industri dan bukan negara agraris, negara kita tambah kehilangan satu hal lagi: (salah satu) negara dengan biodiversitas tertinggi! 

Padahal negara kita dipuji-puji oleh dunia; zamrud khatulistiwa yang menawan dengan flora dan fauna yang begitu kaya, bahkan hutan hujan tropis di Indonesia jadi paru-paru yang membuat dunia bisa bernapas lega.

Belum lagi biang kerok negara maju yang lain (yah, tambah lagi, deh!); PLASTIK! Tuh, kan, plastik bekas yang diimpor selama ini berasal dari negara maju. Mau dibiarkan malah membebani, ya sudah, dibuang ke negara yang sedang berbunga, jadinya tambah rusak keindahan negerinya dan mencemari tanah airnya.

Ah iya, diriku baru ingat, bahwa sebagian es di Antartika lagi mencair. Itu juga ulah dari negara maju yang tidak bertanggung jawab, buang polutan seenaknya ke udara. 

Padahal dunia sudah menyerukan hal itu lho, buat kurangi emisi. Tapi, dasar manusianya yang gak sadar, terus lakukan begitu.

Nah, kalau begini, kasihan kita dan pulau-pulau kecilnya, 'kan? Bukan tidak mungkin, wilayah di Bumi akan hanyut ditelan air laut, dan bikin tidak tenang semua makhluknya.

Hmmm, kalau begitu, apa negara kita ingin maju, seperti atau lebih baik dari kejayaan Nusantara zaman silam? Pikir lagi!

Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun