Akhir-akhir ini, Menko PMK Muhajir Effendy punya ide baru untuk mengentaskan kemiskinan yang menggurita di negeri ini. Beliau mengusulkan agar wanita kaya menikah dengan pria miskin, dan pria kaya menikah dengan wanita miskin.
Hmmm, sebuah taktik yang cerdik memang.
Tapi, apa semua orang mau menikah dengan cara itu?
Hey! Pernikahan itu nggak bisa harus ini dan itu! Cinta di antara dua insan, harus dijalani dengan sepenuh hati. Lagipula, kita 'kan tidak hidup di zamannya Datuk Maringgih dengan Siti Nurbaya, yang percintaannya dibumbui dengan paksaan!
Oh ya, katanya sih pernikahan dalam ajaran agama harus sepadan. Iya sih, tapi sayangnya "sepadan" itu yang (mungkin) dimanfaatkan keluarga untuk menikahkan anaknya dengan pasangan sama kasta, bukan dari hal utamanya yakni moral, agama, dan budi pekerti yang sama-sama baik.
Lebih-lebih, kenyataannya masyarakat kita ini, terlalu mendewakan status sosial. Sampai-sampai, gelarnya diseret di urusan pernikahan.Â
Lihatlah, undangan pernikahan yang diterima di rumah-rumah kalian, di belakang nama mempelai ada gelar dr, Ns, S.Pd, S.E, S.Sos, M.Pd, M.Kes, PhD, sampai tertera gelar Haji dan Hajah pula.
Karena itulah, ada keluarga yang menolak menikahkan anaknya dengan kekasihnya, bahkan sampai tidak menyalakan lampu hijau untuk hubungan mereka, dan itu sudah banyak sekali.Â
Alasannya macam-macam. Ada yang alasan ketampanan/kecantikan lah, ekonomi, takut tidak bisa membahagiakan anaknya, dan tak ingin martabat dan harga dirinya jatuh!
Terlebih lagi keluarga ingin mempertahankan status sosial yang susah payah dibangun dengan keringat, darah, dan air mata. Ya elah, gitu doang? Gengsi!
Namun, namanya jodoh kan unik. Tak bisa ditebak. Ada pria kaya yang menemukan jodohnya dengan wanita miskin, begitu pula sebaliknya. Ada, pasangan yang dipertemukan satu profesi dan satu keadaan ekonomi. Itu sih wajar.
Tapi, kalau sudah terlanjur dapat pasangan dengan keadaan ekonomi yang berbeda, gimana?
Bisa jadi, usulan Menko PMK tadi menjadi kabar gembira buat mereka yang dapat pasangan dari beda status finansialnya, yang perjuangannya ingin menuju puncaknya; pernikahan. Tapi, restunya tak turun-turun dari pihak salah satu keluarganya.
Kecuali, kalau kedua belah pihak keluarga meridhai pasangan miskin jadi bagian anggota keluarganya, ya semuanya langsung melangkah ke pelaminan nggak jadi masalah!
Tapi, nikah dengan pasangan lintas ekonomi, ada untungnya lho! Apa saja?
Bisa berhemat, tidak berfoya-foya, dan istri lebih fokus mengurus rumah tangga.
Dapat suami kaya itu menyenangkan, bagai dapat surga dunia! Hahay.......!
Hmmm, sebenarnya, baru awal lho!
Dalam pernikahan pun suami diwajibkan untuk memberi nafkah kepada keluarganya (istri dan anaknya). Nah, dengan keuangan yang mapan, kebutuhan istri dan rumah tangganya bisa dicukupi oleh suami dengan lebih baik. Waaah, enak bener!
Akan tetapi, harus hitung-hitungan juga. Bersyukurlah punya istri yang dari keluarga pra-sejahtera, jadi kehidupannya jadi lebih sederhana juga. Pengeluaran bisa ditekan, biar tidak terlalu boros, sehingga bisa dipakai untuk kebutuhan yang lain. Ya, jadi penyeimbang lah.
Dan, plusnya lagi, karena suami yang penghasilannya lebih dari cukup, membuat istri tidak perlu bekerja lagi. Cukup menjadi ibu rumah tangga, mengurus suami dan anak-anak.Â
Terus, fokus untuk mengawasi dan mendidik anak-anaknya dengan baik dan benar, sehingga mereka bisa bertumbuh menjadi generasi yang terbaik.
Tapi, apa tidak perlu dimanja sekalian dengan liburan, mengingat suaminya kaya?
Pergi berpiknik pun boleh, asalkan sesekali dan tidak melalaikan hal yang terpenting seperti pekerjaan. Intinya, jangan sering-sering lah. Hehe.
Belajar hidup yang tahan banting
Coba, ada wanita yang dibesarkan oleh keluarga kaya. Makan enak, setiap hari naik mobil pribadi terus. Liburan ke luar negeri tak pernah absen setiap tahun. Tapi, begitu menikah dengan pria yang sederhana dan apa adanya, langsung berubah bagaikan jatuh dari langit ke bumi. Pasrahkah?
Ya, jangan buru-buru berpikir negatif dulu!
Lewat pernikahan ini, si wanita yang asalnya kaya harus belajar keluar zona nyaman. Merasakan bagaimana hidup prihatin (bersama-sama), membentuk karakter generasi yang tahan banting saat harus bertahan di masa sulit.Â
Dengan kata lain, tidak terlalu manja dengan kemudahan. Gitu aja!
Tapi, apa dia bersedia menjalani hidup kayak gitu? Udah tahu milenial, di mana---sebagaimana yang baru saja kudengarkan dari siaran Smart Happiness---dia ini kurang menghargai proses dan ingin bersenang-senang terus?
Yah, mending ikut "kursus" Tukar Nasib deh!
Seperti si kaya harus menjalani kehidupan si miskin (baik rumahnya, pekerjaannya, makanannya) untuk sementara waktu, begitu pula sebaliknya.Â
Dengan kata lain, si kaya semakin bersyukur dan si miskin diharapkan bersabar dan terus berusaha. Bukankah si kaya dan miskin diciptakan agar tetap saling dibutuhkan dan melengkapi?
Asal tahu saja, pernikahan si kaya-si miskin bisa baik-baik saja, apabila keduanya harus melepaskan ego pribadi masing-masing; mengalah istilahnya.Â
Dan sebaliknya, pikiran dan keinginan harus sejalan bersama dan menerimanya dengan rela. Bukankah itu lebih membahagiakan?
***
Sekali lagi, perkawinan kaya-miskin itu opsional, lho. Kalau memaksakan nikah beda status tapi tidak cinta dan tidak didukung juga, ya buat apa?
Jadi, menikahlah dengan pilihan hati yang berbudi baik dan saling mencintai, terlepas dari kesamaan ekonominya. Mudah-mudahan, bisa bahagia, kok. Soal rezeki? Tuhan akan mencukupinya selama mau berusaha dan berdoa.
Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H