Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ular Kobra, Bukti Nyata Pemanasan Global

26 Desember 2019   10:28 Diperbarui: 27 Desember 2019   16:02 3593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu SD, saya mendapatkan pembelajaran yang akhirnya kuketahui selama ini. Bahwa musim kemarau di Indonesia berlangsung dari April-Oktober, dan musim hujan berlangsung Oktober sampai April.

Setelah berlalu lebih dari satu setengah dekade, rasanya ilmu itu tidak relevan lagi dengan keadaan sekarang alias nggak akurat. Buktinya, waktu pergantian musim itu maju-mundur syantiik. Eh, bukan!

Pasalnya, musim hujan beberapa tahun lalu mundur ke bulan November bahkan sampai Desember untuk tahun ini. Bagi para petani (apalagi yang hidup di masa lalu) yang biasa dengan pola tanam saat Oktober, bisa jadi malah bingung sendiri, terlebih bagi mereka yang tak begitu akrab dengan informasi dari gawai yang berisi "ramalan" tentang musim?

Benar juga, ketidak-seimbangan pergantian musim itu terasa tidak indah lagi. Malah jadi buruk karena "tidak adil" soal air. Di suatu tahun lebih banyak hujan, tahun berikutnya kebanyakan hari adalah hari yang panas. Akibatnya, pengelolaan air, terutama di kalangan rumah tangga bisa kacau balau, kalau tidak diupayakan untuk berhemat.

Dan, kalaupun masuk musim kemarau, wuiiih jadi lebih panas lagi. Tahun ini, di beberapa kota seperti Semarang, suhunya bisa mencapai 39,5 derajat celcius. Tapi, ini belum apa-apanya!

Di negara-negara subtropis, di belahan bumi utara dan selatan, ada gejala Gelombang Panas yang selalu tiba pada musim panas, apalagi di era sekarang ini.

Sudah banyak korban jiwa yang berjatuhan akibat panas ekstrim, yang saking parahnya, di Australia saat musim panas tahun ini nyaris mencapai 50 derajat celcius, lebih panas dari rata-rata suhu di gurun Arabia.

Nah, panas yang amat menggila ini, yang membuat resah masyarakat di sana. Aktivitas sehari-hari jadi terganggu, bahkan shalat Jum'at sampai dipercepat. Lagi pula, ada laporan seorang warga(net), bahkan panas berlebihan yang melanda Australia, cukup membuat daging babi jadi matang di dalam mobil tuanya!

Ya, semua ini memang ada yang salah dengan Bumi. "Termometer"-nya rusak, mengukur suhunya jadi tidak berfungsi lagi. Ups, ini bukan termometer yang bentuknya yang biasa kita pakai di badan maupun di dinding!

Kuncinya ya pada sesuatu di bumi ini: Angin!

Pergerakan angin di sekitar Bahama. Sumber gambar: liputan6.com
Pergerakan angin di sekitar Bahama. Sumber gambar: liputan6.com
Angin, meskipun terkadang kecil dan remeh, tapi peranannya besar, lho. Bahkan sampai menentukan cuaca dan iklim di seluruh dunia. Angin, yang biasa kita rasakan selama ini, tidak bisa berdiam diri, pasti berpindah ke tempat yang lain, bahkan bisa menempuh melalui wilayah yang sangat jauh dan luas!

Karena bantuan matahari-lah, udara bisa bertenaga. Panas yang dipancarkannya, membuat udara memuai dan akhirnya angin naik, lebih ringan dan bebas bergerak. Di sisi lain, udara yang dingin menjadikan angin lebih berat dan akhirnya turun ke bumi.

Akhirnya, ya terjadilah pertukaran udara. Kan tahu sendiri, angin mengalir dari tempat bertekanan tinggi ke tempat yang rendah?

Kalau suhunya stabil, pertukaran udara belangsung lancar jaya dan tak ada masalah. Maka, cuaca dan iklim akan baik-baik saja. Tapi, kalau suhunya naik, bagaimana?

Ternyata bisa berpengaruh!

Suhu bumi yang naik perlahan-lahan, ternyata disebabkan oleh CO2 dan gas-gas polutan lainnya, yang dilepaskan ke atmosfer, menciptakan "gas rumah kaca" yang membuat panas jadi terperangkap di bumi. Itulah yang dinamakan Pemanasan Global!

Panas itu yang membuat tekanan udara jadi berubah, dan sistem serta pola angin jadi terganggu. Akibatnya, waktu hembusan angin jadi berubah juga, yang membuat pergantian musim jadi berada dalam ketidakpastian.

Kalau sudah begini, ya diuntungkan, sudah pasti ular kobra!

Kok bisa, ya?

Ular kobra di kampus ITB. Sumber gambar: Republika
Ular kobra di kampus ITB. Sumber gambar: Republika

Karena, menurut yang saya baca, telur ular kobra sudah menetas sempurna di bulan November yang masih panas. Musim hujan tahun ini baru datang di bulan Desember.

Hmmm, andai hujan sudah tiba di bulan September, tentu lain ceritanya. Telur-telur jadi kena hujan dan lembab, berjamur duluan, dan akhirnya, gagal menetas!

Itu semua, kembali lagi ke waktu perubahan pola angin yang mempengaruhi datangnya musim!

Musim hujan akan datang kalau sudah berhembus angin muson barat, yang membawa uap air yang melintasi lautan. Kalau suhu bumi semakin panas, hembusan angin akan berubah waktunya, mundur perlahan, dan ujung-ujungnya, bisa memicu pergeseran musim.

Jadwal musim yang bergeser, artinya hari-hari yang panas akan diperpanjang. Panas itulah yang menguntungkan ular kobra, yang membuat banyak telur ular menetas dan anakan kobra "terlahir" di dunia!

Jangan heran, kalau ular kobra berkeliaran di daerah-daerah di pulau Jawa, termasuk Jabodetabek. Ini bukan perkara enteng lho, dan tak hanya masalah ekologi serta kurangnya mangsa. Ini sudah gawat darurat, Bumi dalam bahaya!

Jadi, pemanasan global tidak cukup hanya seputar perubahan iklim, dan gelombang panas yang lebih sering terjadi karenanya. Munculnya ular kobra adalah bukti baru bahwa suhu Bumi sudah demam tinggi.

Semua ini, salah kita sendiri, 'kan?

Munculnya Revolusi Industri yang memicu adanya pabrik-pabrik yang buang polutan, penebangan hutan habis-habisan, dan berbagai sebab lain yang membuat panas jadi tertahan di bumi, itu semua, memang kita sendiri yang memulai. Kalau bukan manusia, siapa lagi?

Karena kita yang bermula untuk mengubah lingkungan, di akhirnya, tetap kita yang harus bertanggung jawab untuk memperbaikinya.

Yuk, sebelum terlambat, stop menebang hutan dan minimalkan polutan, dan mulailah hidup baru dengan yang ramah lingkungan, agar Bumi yang sakit demam, bisa sembuh kembali!

Demikianlah, semoga bermanfaat. Salam Kompasiana!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun