Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Hal-hal yang Membuatku Betah Jadi "Murid" Kompasiana

8 November 2019   19:43 Diperbarui: 9 November 2019   06:54 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nggak sia-sia merangkai pantun buatan sendiri, sampai akun Twitter-ku disebut jadi pemenang.

Ngapain sih, bertahan nulis di Kompasiana? 

Dijamu Presiden nggak diundang, membuat buku keroyokan tidak diajak, apa sih yang kamu dapatkan di sini?

Menjadi satu dari ratusan ribu murid-murid di sekolah Kompasiana alias Kompasianer sungguh merupakan kebanggaan. Bagaimana tidak, "sekolah virtual" ini masih yang terfavorit di negeri ini, (pernah) dapat penghargaan pula. Dan, walaupun kepala sekolahnya ganti lagi (sekarang Nurulloh), ada saja kedatangan murid-murid baru yang ingin belajar menulis di sini.

Tapi, apakah saya tetap bertahan jadi murid di Kompasiana dengan segala dinamikanya? Tidak, malah pernah bolos sekolah selama 8 bulan pas musim pemilu (jangan ditiru ya!). Akibatnya, pas kembali lagi ke sini, murid-murid yang lebih junior meraih kemajuan bahkan sampai dinominasikan sebagai calon murid teladan. Sedangkan saya? Terasa tinggal kelas deh.

Walaupun demikian, di tengah prestasiku yang biasa saja, tetap saja saya dapat apresiasi. Bukti bahwa saya bukan murid idiot yang tak bisa apa-apa. Setidaknya, potensiku bisa berkembang dan melaju berkat diriku bersekolah di Kompasiana ini.

Yang kemudian, datanglah surel yang tak terduga.

Terkejut?

Ya pastilah. Saya sebenarnya nggak muluk-muluk nunggu pesan yang masuk ke kotak masuk e-mailku. Tapi menyematkan alamat surelku di profil, siapa tahu ada kejutan yang mau berkomunikasi denganku lebih lanjut.

Dan itu terbukti. Awal 2018 lalu diriku mendapatkan e-mail tak terduga dari salah seorang Kompasianer yang kini namanya berjejer di antara calon-calon fiksianer teladan. Dia mengapresiasi tulisanku yang tentang anak blasteran itu sembari menjelaskan, bahwa sewaktu membaca artikelku, dia merasakan apa yang kutuliskan di artikel tersebut.

Wah-wah, emang gak salah. Diriku menuliskannya murni dari sanubari. Sampai-sampai, saya buatkan artikel balasan untuk dia, ya murni berbagi pengalamanku bahwa jadi anak berdarah campuran memang membuat kami benar-benar mengerti akan perbedaan dan keberagaman.

Setahun berlalu, ternyata diriku kasih kejutan lagi. Kali ini, ada seorang pengirim yang berada nun jauh di sana, Kanada, yang setelah saya telusuri lagi, ternyata bukan orang sembarangan; dia adalah seorang peneliti di universitasnya!

Dia menuliskan pesan bahwa dia mengakui tulisanku tentang masukan penyiaran untuk disabilitas sangat bagus dan berguna, malah dia minta tolong kepadaku untuk memberikan link regulasi tentang penyiaran ramah disabilitas di Indonesia. Yaah, giliranku yang akhirnya dibuat kikuk. Lha wong penyiarannya begitu-gitu aja, nggak berubah kecuali hanya sebatas bahasa isyarat SIBI doang.

Meskipun pada akhirnya saya tak sanggup menjelaskannya, toh diriku dianggap berharga. Tulisan seorang newbie waktu itu malah dipuji sama peneliti yang berkarier di utara Amerika. Apresiasi itu yang menyadarkanku, bahwa nggak sia-sia diriku menulis, karena setiap tulisan ada tuah dan takdirnya sendiri!

Oh ya, di sekolah umum, pasti ada lomba, 'kan? Di sekolah Kompasiana pun begitu, ada blog competition. Saya tentu ikutan lomba menulis sesuai yang saya bisa, apalagi waktu tahun 2017-2018 semangatnya berapi-api buat bertarung melawan tulisan-tulisan para peserta lain demi hadiah uang tunai untuk bekal perjalananku menonton Asian Games 2018 di kampung halaman sendiri.

Setelah berjuang sekuat tenaga, baru dua lomba yang berhasil memilihku menjadi yang terbaik, walaupun tak pernah merasakan manisnya juara satu. Ya, pokoknya menang, titik! Lagi pula, ini buat menguji tulisanku, biar lebih berkualitas lagi, yang lebih dari artikel berpredikat Artikel Utama! Hehe.

Terus, berapa jumlah uang yang kuterima dari lomba itu? Lumayaaan! Walaupun nilainya kalah dari Kompasianer lain yang lebih jago, setidaknya bisa memenuhi kebutuhanku sendiri sudah bersyukur, alhamdulillah ya.

Pemenang Lomba Kemenang tentang Jaminan Halal tahun 2017
Pemenang Lomba Kemenang tentang Jaminan Halal tahun 2017

Pemenang favorit lomba blog Minyak Kayu Putih Aroma Cap Lang 2018
Pemenang favorit lomba blog Minyak Kayu Putih Aroma Cap Lang 2018

Namun, yang belum saya rasakan selama di sini adalah, tunjangan buat murid-murid Kompasiana atau K-Rewards. Sebenarnya saya berhak atas gaji pertamaku yang diperoleh dari kalkulasi angka-angka jumlah pembaca yang jumlahnya nggak begitu besar yang harusnya kuterima pada tahun kemarin. Entah kenapa, yang membuat calon pendapatanku harus melayang begitu saja. Karena ada masalah di e-money Mandiri, mungkin?

Toh, hal ini enggak membuatku menyerah. Bulan kemarin aja harus memaksakan diri, rela begadang demi ikutan lomba menulis pantun #11TahunKompasiana di Twitter di hari terakhir, di tengah-tengah pelantikan Pakde periode kedua dan final bulutangkis di negeri Denmark yang begitu menggoda untuk mengikuti kabarnya.

Kemudian, delapan harinya, syukurlah aku terpilih untuk menerima hadiah berupa rupiah! Berapa? Jangan ditanya. Haha. Tapi, yang pasti, Kompasiana adalah sekolah yang memberi diriku keberuntungan, kebahagiaan yang memuaskan lahir dan batin. Pokoknya, #BeyondBlogging itu nyata!

Nggak sia-sia merangkai pantun buatan sendiri, sampai akun Twitter-ku disebut jadi pemenang.
Nggak sia-sia merangkai pantun buatan sendiri, sampai akun Twitter-ku disebut jadi pemenang.

Dan lagi-lagi, membuat Admin, "guru" Kompasiana, memilihku untuk berpartisipasi "di luar".

Buktinya? Saya sampai dua kali ditelepon untuk tampil di Kompasiana TV, yang ditayangkan di Kompas TV yang waktu itu belum ada channel-nya di daerahku, ditambah lagi masalah koneksi dan statusku yang masih murid baru. Jadi tambah sungkan deh buat mejeng di layar kaca.

Lalu, tiga tahun kemudian, lagi-lagi Admin mengundangku lewat WA buat ikutan kegiatan menulis bersama para Kompasianer di Palembang, dengan berkunjung di Jakabaring Sport City yang sayangnya malah kulepas kesempatan itu. Maaf ya min, karena diriku menempatkan kepentingan keluarga di atas segala-galanya, dan mudik ke Jawa adalah hal yang paling berharga bagiku *ceilee*

*

Memang, beberapa bulan lalu saya sempat berkelana ke "dunia lain", forum tanya jawab ternama pesaing startup yang didirikan mantan kepala sekolah Kompasiana. Tapi, rasanya sepi sekali, kurang dukungan di jawabanku meskipun saya sering dukung naik jawaban orang lain yang kubaca. Gak betah, ya saya putuskan untuk kembali ke Kompasiana, karena ada satu hal berkesan yang kurindukan:

Sekolah Kompasiana itu asyik. Keberadaan teman sesama Kompasianer yang baik hati, yang mendukungku suka dan duka, memberi energi bagiku untuk selalu bersemangat menulis dan menulis, dan saya ingin mengenang masa-masa itu.

Hmmm, rasanya ingin nostalgia aja, haha!

**

Aku ingin menulis bebas, di dunia maya!

Ini, tempat menulismu!

La, la, la, aku sayang sekali, Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun