Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Meluruskan Paradigma tentang "Kesibukan"

16 Maret 2018   18:00 Diperbarui: 17 Maret 2018   00:37 1479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Shutterstock

"Hei, kau jangan nganggur, cari kerjalah!"

"Tapi 'kan, aku takut kesibukan ini melalaikanku!"

Coba kalian bayangkan kalau sekiranya waktu tiga bulan ini aja, dilalui tanpa kerjaan? Huh, kalau kita cuma berdiam diri di dunia ini rasanya hampa, dan ujung-ujungnya hanya rasa lelah yang terasa. Hmmm, bagaimana bisa?

Kalian tahu apa alasannya? Ternyata, motivator kebahagiaan Arvan Pradiansyah dalam talkshow Smart Happiness yang kudengarkan seminggu yang lalu, telah menjawabnya. Kata beliau, kita ini diciptakan dengan "sistem" yang menyelaraskan diri dengan pergerakan alam semesta, sehingga kita dituntut untuk tidak berdiam diri, melainkan terus bergerak di muka bumi ini.

Nah, planet-planet dan bintang aja bergerak, Tuhan pun juga sibuk "melayani" hamba-Nya, masa' kita sendiri malah diam aja? Kan sungguh aneh!

Karena itulah, pantas saja jika dalam seminggu, akhir pekan cuma dua hari, terus selebihnya kita dituntut untuk bekerja. Ya lah, biar kita dikasih waktu dan ruang untuk mendayagunakan potensi yang dikaruniakan-Nya, agar kita menjadi orang yang "penting" dan selalu bermakna bagi banyak orang.

Jadi, wajarlah kalau kita dituntut untuk punya kesibukan dan tak ingin menganggur begitu aja, apalagi orang tua yang bilang ke anaknya, "Ayo kerja, biar dapat uang, bisa bantu orang tua!" Yah, memang lumrah sih kalau kepengennya kerja yang bisa menghasilkan (tentu saja berupa uang), tapi apakah kesibukan ini bisa bikin kita lalai terhadap yang lainnya?

Fenomena "The Busy Generation"

Sumber gambar: Shutterstock
Sumber gambar: Shutterstock

Oh ya, sebelum saya membahas ini, mari kita tarik kembali ke linimasa zaman dulu. Saat itu, kita begitu punya banyak waktu bersama keluarga dan sahabat untuk saling berbagi. Tapi sekarang?

Begitu biaya hidup semakin melangit dan memaksa orang-orang untuk berkerja lebih, pasti akan ditanyakan, "Sekarang, kamu sedang sibuk apa?"

Ya, seperti yang kita tengok pada saat sekarang ini pada lingkungan lain di luar sana. Di mana, di banyak kalangan eksekutif yang tinggal di kota-kota besar, sudah terjerat pada gaya hidup yang supersibuk. Istilah lainnya, ya sebut saja Generasi Sibuk (the busy generation)!

Lha, kok bisa sih ada generasi supersibuk ini? Gini lho, menurut Robert Holden dalam bukunya, Success Intelligence, mereka ini menjadikan kesibukan ini sebagai gaya, maksudku jalan hidup. Sibuk yang makin banyak dijalani, malah bikin "bangga" dan berpeluang besar untuk kesuksesan. Tapi, apakah ini berujung pada cerita akhir yang indah? Hmmm, kurasa tidak.

Malah, justru yang terjadi sibuk terus-terusan, apalagi sibuk terhadap hal-hal yang tidak begitu penting yang bikin buang-buang waktu, malah membuat kita terasa lelah, malah lupa dengan yang lainnya. Hubungan sosial dan kekeluargaan yang terbina bertahun-tahun bisa dipecahkan dengan begitu cepat hanya gara-gara kesibukan yang tak memberi ruang dan waktu untuk bercengkrama. Nah, kalau berlebihan, kesibukan yang dijalani bisa berbahaya tuh!

Dan, tak hanya itu saja! Kesibukan yang teramat kronis itu membuat kesehatan menjadi korban, bahkan bisa berujung pada kematian. Ya, bisa dilihat sendiri, begitu getolnya mereka begadang demi pekerjaan dan mendapatkan uang, keesokan harinya malah jatuh sakit dan harus menggunakan hasil kerja kerasnya (baca: uang). Lebih-lebih kalau kesibukan tak memberi kesempatan untuk refleksi dan beribadah, duuh betapa keringnya hidup ini, terasa kosong dan tak berdaya!

Ah, sungguh kesibukan ini bisa melupakan akan tujuan utama kita!

***

Oh, pantas saja ada paradigma-paradigma yang berbeda di antara orang-orang (termasuk motivator dan para psikolog), dalam memandang kesibukan. Ada yang bilang kita harus katakan OK untuk menyibukkan diri dengan kegiatan, ada yang berpendapat sibuk itu melalaikan. Duuh, jadi bingung deh.

Terus, mana yang benar untuk menyikapi ini semua?

Baiklah, saya ambil jalan tengah. Saya akan luruskan paradigma-paradigma yang mereka lontarkan tentang kesibukan.

Ya, kesibukan itu pada dasarnya baik dan positif, asalkan pandai menempatkannya dengan bijak.

Maksudnya apa? Tentu saja, kesibukan harus dikelola! Jika ada yang mengatakan, atau bisa juga mengalami sendiri kesibukan ini membuat kita lupa terhadap yang lain, itu wajar. Tapi, sebenarnya yang terjadi adalah kita sendiri yang tidak membagi kesibukan itu, atau.... jangan-jangan kita habisin waktu untuk hal-hal yang tidak penting!

Makanya, salah besar kalau kesibukan itu hanya berfokus untuk mencari uang untuk bertahan hidup. Karena kita harus memberi waktu untuk kesibukan untuk hal-hal yang lainnya. Mengapa ya?

Sebab, kata Pak Arvan lagi, kesibukan yang baik itu adalah kesibukan yang menghasilkan, juga bertumbuh. Lalu, bertumbuh dalam dimensi apa? Fisik, emosional, mental, dan spiritual.

Jadi, hanya berfokus pada kesibukan yang meghasilkan berupa uang aja sebenarnya bikin kita sengsara, sebab hal-hal lainnya enggak diperhatikan. Karena itulah, kita bagi waktu untuk kesibukan yang lain. Untuk bisa "menumbuhkan" fisik menjadi lebih sehat, sempatkan pagi untuk berolahraga. 

Untuk kebutuhan spiritual, jangan sampai tak punya waktu untuk berdoa kepada-Nya. Termasuk, kebutuhan untuk refleksi dan merenung. Hmmm, apa ketiganya termasuk kesibukan? Ya, hanya saja ritmenya lebih lambat dibanding kesibukan pada umumnya yang lebih cepat.

Lalu, bagaimana dengan emosional dan mental? Keduanya juga punya hak untuk dipenuhi. Kasih kesempatan untuk bersosialisasi dengan teman, kumpul keluarga, apalagi yang tinggal berjauhan walaupun hanya melalui telepon dan pesan singkat.

Kalau pikiran dan mental, ya apalagi. Selain membaca buku dan media cetak, bahkan mendengarkan/menonton siaran elektronik yang berkualitas, untuk kalian yang suka pegang gawai, lebih-lebih buat stalking status medos, misalnya (Waah godaan terbesar di zaman now nih!), hendaknya dibatasi waktunya.

Alangkah baiknya kalau baca tulisan medsos yang berfaedah untuk memberi mental dengan konten yang positif. Dan, satu lagi, kurangi hal-hal tak penting yang bisa menghalangi kesibukan yang bernilai, ok?

Intinya, kalau sudah menyelesaikan kesibukan yang satu, jangan biarkan waktu membentuk ruang kosong tanpa ada yang bisa mengisinya. Gunakanlah untuk kesibukan dalam tataran dimensi lain dan jangan menundanya, terus.... bagilah seadilnya, biar semua kebagian!

***

Akhirnya, kesibukan yang kita jalani ini, tak ada yang bakal merugikan dari sisi yang lain. Semuanya bermanfaat, ya tergantung yang mengendalikan kesibukan ini sih. Nah, bukankah kita adalah tuan atas waktu yang diamanahkan Tuhan? Ya harusnya kita lebih adil untuk membaginya!

Jadi, tak ada alasan lagi untuk mengatakan "kesibukan ini bikin lupa waktu". Ya 'kan, pembaca yang baik!

Hmmm, bagaimana dengan saya dan kalian, ya? Harus optimis, semoga kita bisa!

Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun