Hanya saja, saya tak perlu bertatap muka langsung "ke sumbernya" hanya demi pengamatan. Saya tinggal duduk, ambil gawainya, terus cari aja di mesin pencari atau membaca langsung dari sumbernya. Beres 'kan?
Lalu, apakah saya sudah mengamati, terus berhenti sampai di situ? Tidak! Secara tak sadar, saya pun berpikir, menganalisis dan "membaca" apa yang saya amati. Bahkan saya melakukan hal itu sembari saya menulis. Lalu, apa contohnya?
Saya melihat para Kompasianer yang mendapatkan penghargaan berupa piala Kompasiana Awards, piagam dan uang tunai. Ya, mungkin saja banyak orang yang senang akan pencapaian mereka dan beramai-ramai mengucapkan selamat. Tapi, saya pun berpikir, membayangkan mereka yang menerima piala, dan menyimpulkan sembari menuliskan artikelnya, apa yang menyebabkan mereka berhasil meraih penghargaan tersebut.
Ternyata, dari membayangkan mereka yang memenangi penghargaan, terus melihat kiprah mereka sebelumnya (lalu dicocokkan dengan teorinya), mereka menulis karena merupakan minat dan jati dirinya, terus dengan dorongan mereka tekuni dengan konsisten, mengembangkan potensi yang berada dalam dirinya menjadi sebuah kesuksesan. Ini toh rahasianya!
Hmmm, untuk yang lain, saya yakin kalian sebagai penulis bisa 'kan "membaca pengalaman dan fenomena", terus menganalisa dan menyimpulkannya?
Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H