Jika ada orang yang menyatakan bahwa buku adalah warisan bagi orang yang ditinggalkannya, itu benar sekali. Setidaknya, inilah yang kami rasakan---para murid Kompasiana setelah sepuluh bulan ditinggal sang pendirinya.
Sebagai narablog sekaligus murid Kompasiana, tentu pada zaman itu sebagian besar dari kami sempat merasakan "dipimpin" oleh kang Pepih walaupun banyak yang tak secara langsung. Kecerdasan beliau, inovasi dan hubungannya kepada anggotanya lewat interaksi nyata dan tulisannya begitu "menyentuh" hati. Magis!
Kini, kang Pepih memang telah "tiada", meninggalkan dunia Kompasiana. Bukan tiada karena pergi ke alam baka, melainkan memilih hidup ke dunia lain, membangun dan mengurus "sesuatu" di luar sana.
Lantas, apa warisan dari beliau yang begitu menyejarah dan paling berkesan bagi kami? Ya, buku Kompasiana, Etalase Warga Biasa!
***
Beberapa hari yang lalu, saya kembali membuka buku sejarah tentang Kompasiana itu. Padahal, dua tahun yang lalu saat diriku masih berstatus murid baru di sini, saya sudah meng-khatam-kan seluruh isi bukunya.
Lagi pula, karena sudah banyak yang meresensi tentang hal itu, ngapa pula harus diceritakan ulang?
Eitts.... jangan salah. Karena kita hidup di bawah kepemimpinan berbeda, apa salahnya kalau saya ingin bernostalgia kembali bersama pendirinya, iyaa 'kan?
Ketika membaca halaman-halamannya, saya merasakan dalam imajinasiku, terbayang akan suasana kantor kala kang Pepih masih ada. Punya keinginan untuk membuat platform di mana jurnalis menuangkan gagasannya setelah beberapa tahun sebelumnya mendalami dunia bloggingdan media sosial. Tapi, beliau sempat bingung, mau memberikan nama apa.
Kompasiana! Ya, nama inilah yang dipilih oleh Budiarto Shambazy, lalu disetujui oleh semua anggota rapat. Namun, usulan beliau harus dikaji ulang oleh kang Pepih. Ya, bagaimana tidak, hal itu "berat" baginya karena membawa nama besar KOMPAS yang dikenal tulisan beritanya kaku dan sangat berwibawa.
Akan tetapi, setelah menelusuri lebih jauh, ternyata usulan tersebut benar adanya. Nama tersebut inilah yang berasal dari salah satu kolom yang diisi oleh PK Ojong (yang kini telah dibukukan), di antara era 1960-1970-an. Gaya tulisan yang ditampilkan "sangat mencolok" di antara tulisan-tulisan Harian Kompas yang cenderung baku, yaitu menggunakan gaya bahasa ala ngeblog seperti yang dijumpai banyak blog zaman sekarang.
Padahal, saat itu komputer bisa dibilang jarang ada di dunia. Lagi pula, internetnya 'kan "masih bayi", yang dimiliki oleh ARPANET di Amerika sana!
Setelah memutuskan untuk diberi nama dan akhirnya membeli domain yang tersedia, mulailah situs tersebut mulai online. Banyak jurnalis-jurnalis yang mencoba "peruntungannya" untuk ngeblog di Kompasiana, disusul oleh penulis-penulis tamu. Namun, seiring berjalannya waktu, jurnalis yang setia ngeblog perlahan menyusut. Maklum, dikejar deadline.
Di saat bersamaan, banyak warganet yang ingin menyalurkan aspirasinya dengan menulis, dan akhirnya dikabulkan dengan membuat menu "Public", yang perlahan diperluas dan menjelma menjadi situs yang terbuka bagi semua, secara resmi tanggal 22 Oktober 2008.
Sejak itulah, Kompasiana (saat itu) berubah menjadi Media Warga.
***
Nah, kesan itulah yang sempat saya rasakan kala saya berstatus anak baru di Kompasiana. Merasa dirinya adalah warga yang menuangkan gagasannya. Dan, atmosfer tersebut semakin diperkuat oleh artikel-artikel dari warga yang berseliweran, terlebih dari artikel beraroma citizen journalism. Namun, status "media warga" tersebut tidak bisa dibilang abadi di sini.
Karena, tahun 2017, Kompasiana mengubah identitasnya menjadi Platform Blog!
Kok bisa?
Tentu ada alasan terkuat, mengapa Kompasiana menegaskan dirinya adalah sebuah blog. Bukan hanya karena kesalah-pahaman pengguna yang menyamakan Kompasiana dengan Kompas.com atau Harian Kompas, bahkan penulisnya dianggap sebagai jurnalis dari Kompasiana, sehingga berujung pada slogan yang berganti menjadi Beyond Blogging. Aih, ini sih saya sudah tahu dari dulu!
Saya punya bukti lain, mengapa Kompasiana kurang pas kalau disebut sebagai media warga. Memang tepat kalau menjadi etalase warga biasa, tapi kurasa Kompasiana punya anggota yang "lebih dari masyarakat biasa".
Apa coba? Tepatnya, saat Kompasiana telah meraih kepopulernya dengan tulisannya bisa dibaca banyak orang, perlahan tapi pasti, banyak institusi yang ikut-ikutan membuat akunnya di sini, bahkan jauh sebelum Kompasiana mengubah motonya.
Kalau saya ingat kembali (kalau tidak salah), ada akun dari salah satu Polres, salah satu dinas di DKI, Aksi Cepat Tanggap, dan masih ada lagi. Bahkan akun Dunia Jilbab sempat menulis artikelnya di sini!
Waktu akun-akun dari lembaga tersebut mulai tayang di halaman Terbaru, muncul perasaan asing di hati saya, apa artikel-artikel ini layak untuk diberi label Highlight? Dan, ternyata benar. Artikel-artikel dari warga-lah yang diutamakan, walaupun tulisan dari institusi ada juga yang diberi label tersebut.
Entahlah. Perlahan tapi pasti, artikel-artikel dari institusi mulai diterima dengan baik oleh pengelola, asalkan tulisannya bisa dinikmati khalayak. Nah, gegara hal ini, kalau dipikir dalam-dalam lagi, status media warga Kompasiana jadi "kebingungan" dan dipertanyakan dong?
Dan, memang bener, status tersebut yang dulu disandang oleh Kompasiana, kini tidak berlaku lagi.
Makanya, waktu slogan Kompasiana berganti, akun-akun institusi mulai diberikan keleluasaan yang lebih baik dalam menayangkan tulisannya. Buktinya, beberapa artikel dari institusi macam Bhinneka.com dan Kompas.com masuk headline Kompasiana, dan menyajikan tulisan yang enggakkalah berkualitas dari tulisan para jurnalis dan warga kebanyakan!
Belum lagi kalau ada akun-akun milik penulis terkenal macam Khrisna Pabichara dan motivator Dedy Dahlan, yang kadang-kadang menyempatkan diri untuk menulis di Kompasiana, bukan?
Nah, sudah jelas bukan, apa alasannya?
Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI