Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dunia Pendidikan yang Rindu Meraih "Kemerdekaan"

17 Agustus 2017   22:13 Diperbarui: 18 Agustus 2017   06:07 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: http://locals.esquerra.cat

Ini sudah 72 tahun merdeka, Bung! Kok pendidikan di negara kita masih begitu-begitu saja?

Ada hal-hal yang sungguh menyesakkan di batin saya, jika melihat fenomena di dunia pendidikan yang tak habis-habisnya untuk diperbincangkan. Meskipun saya memang terlahir di era pasca-kemerdekaan---belum sampai melangkah ke usia 49 tahun---tapi melihat dunia pendidikan, duuuh rasanya setengah hati! Ingin maju, tapi langkah-langkah yang dilakukan, malah membebani siswa-siswi di seantero negeri. Kasihan juga ya, sebenarnya.

Merdeka secara "lahiriah", ya. Tapi, pada kenyataannya, dunia pendidikan kita tak jua untuk merdeka. Masih merindukan gebrakan-gebrakan, untuk mengeluarkan sistem pendidikan yang masih terbelenggu. Sehingga, tercipta generasi-generasi "bebas", kala negeri ini mencapai tahun emas---semoga bisa tercapai ya, aamiiiin!

Ya, begitulah keadaannya. Di hari kemerdekaan ini, entah kenapa, otak saya terus saja berpikir keras, dan merenung sembari saya membaca artikel. Dan pada akhirnya, saya (lagi-lagi) menyorot sistem pendidikan yang masih "terjajah", dan ingin "diulurkan tangan" untuk bangkit dan meraih kemerdekaannya.

Jujur, sampai saat ini, saya suka dunia sekolah dan ilmu pengetahuan, bahkan setelah 3 tahun meninggalkan bangku sekolah pun, kenangan-kenangan yang berkaitan dengannya masih saja "diawetkan" di sini. Tapi, tidak untuk sistem pendidikannya. Terasa menyiksa!

Ya, daripada lama-lama, saya bahas permasalahan pendidikan di negeri ini, yang dirindukan untuk segera merdeka. Tentu, dari sudut pandang dan analisa saya, berdasarkan pengalaman bersekolah, dan bahan bacaan yang saya pelajari.

Beban Pelajaran yang Terlalu Banyak dan Berat

"Kenapa sih, harus belajar Matematika lagi? Padahal aku 'kan siswa kelas Bahasa. Aku nggak suka pelajaran ini, dan maunya aku, lebih baik dihapus saja!"

Sering kali, hal-hal yang tidak berkaitan dengan minat, dipaksa dipelajari, dan membiarkan potensi tertentu yang harusnya dikembangkan, ditelantarkan begitu saja. Kalau udah begitu, lahirlah berbagai permasalahan di kemudian hari. Bisa berupa contek-menyontek di kelas, melakukan hal-hal yang negatif, dan sebagainya.

Kenapa ya, bisa terjadi demikian? Karena, dari dulu (mungkin) sampai saat ini, kurikulum di Indonesia sudah diberikan pelajaran "yang berat-berat" sejak duduk di bangku sekolah dasar. Lihat saja, duduk di kelas lima sampai enam (seingatku) sudah harus belajar sistem pernapasan, energi hingga tata surya pada pelajaran IPA, tapi 'kan sebaiknya bisa diberikan saat menginjak SMP kelak. Iyaa 'kan?

Kalau dibandingin dengan negara maju, seperti Jepang, di sana anak-anak SD malah ditekankan pemberian mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter. Ohh pantesan, orang-orang Jepang punya karakter positif yang kuat, kalau ketahuan korupsi langsung mengundurkan diri...

Tak hanya masalah pelajaran yang "berat", jumlah mata pelajaran yang diajarkan juga kebanyakan. Mungkin saja, mereka ingin agar anak-anak Indonesia bisa menguasai semua mata pelajaran di sekolah, yang tercermin dari nilai-nilai rapor sekolah. Anggapan-anggapan itulah, yang kemudian menjadi dasar bagi orang tua untuk memasukkan anak-anaknya ke lembaga les, untuk meraih apa yang mereka inginkan.

Tapi, apa iya anak-anak bisa pintar semua mata pelajaran? Rasa-rasanya, itu pasti tidak mungkin!

Pasalnya, saya yakin anak-anak Indonesia, terlahir dengan potensi unik dan teristimewa. Punya bakat dan minat yang harus tergali dengan baik. Kalau dijabarkan dalam istilah psikologinya, bisa berupa kecerdasan majemuk!

Namun, teori ini tidaklah membuat sistem pendidikan kita menjadi "sadar". Masih banyak kalangan yang mendewakan matematika dan bahasa asing sebagai tolak ukur kepintaran dan kesuksesan, yang dianggap bisa memberikan masa depan yang cerah. Please deh, hentikanlah anggapan-anggapan seperti itu!

Oke, kembali ke jumlah mata pelajaran. Menurut apa yang saya baca di buku Self Driving karya Rhenald Kasali, di negara-negara maju semacam Amerika dan Australia, untuk siswa-siswi setingkat SMA, mereka diwajibkan mengambil dua mata pelajaran, dan memilih empat mata pelajaran yang disukai. Sedangkan di negara kita? 16-18 pelajaran!

Bener-bener "gila", ya!

Tak heran, siswa-siswi di Indonesia bisa stress menghadapi beban pelajaran yang jumlahnya bejibun itu. "Memaksa" otak untuk terus mempelajari pelajaran yang sebenarnya bukan passion mereka. Ingin memilih mata pelajaran, nggak bisa, karena terhalang oleh sistem---bahkan setelah dibagi jurusan sewaktu SMA. Ya sudah, apa boleh buat. Jadilah kami "dijajah" oleh belenggu sistem dan beban pelajaran di negeri sendiri.

Duuh, kalau "bercermin" dari membaca artikel di internet tentang kisah Izzan yang belajar sesuai passion---memilih pelajaran yang disukai hingga menembus ITB di usia muda, bisa enggak ya, Indonesia bisa melakukan hal-hal seperti ini?

Metode Pengajaran Guru yang "Kurang Tepat"

Sewaktu kami duduk di bangku sekolah, ketika tiba jam pelajaran, biasanya kami mempersiapkan diri dengan buku sesuai mata pelajaran yang diajarkan di kelas tersebut, dan tentu saja alat tulis. Setelah sang guru datang ke kelas, barulah beliau mengajarkan pelajaran yang akan dibahas hari ini, kebanyakan dengan metode ceramah. Setelah waktu pelajaran berakhir, barulah sang guru itu pergi.

Tapi, lama-kelamaan, seiring waktu dan teknologi, metode pelajaran pun diubah. Kami disuruh presentasi mata pelajaran, baik sendiri maupun berkelompok. Untuk presentasi kelompok, kami mencari bahan pelajaran lewat internet, buat PowerPoint, lalu dipresentasikan di depan kelas.

Sedangkan, untuk individu, kami pernah disuruh menghafal materi pelajaran Seni Budaya, lalu "menjelaskannya" di hadapan guru. Tapi, sudah bertahun-tahun berlalu, apa materi tersebut masih melekat di pikiranku? Tak ada satu pun!

Dan, saya baru tahu, kalau belajar dengan menghafal bukan metode pembelajaran yang terbaik. Yang paling tepat, belajar dengan cara berpikir. Ya, berpikir! Sayangnya, belajar yang seperti itu belum membudaya di Indonesia, karena mengajarkan siswa-siswi untuk berpikir, adalah suatu perkara yang paling sulit.

Ya, lagi-lagi para guru menjadi "akar permasalahan"nya. Mereka, adalah korban dari sistem pembelajaran yang mementingkan hafalan. Akibatnya, walaupun otak mereka telah terisi pengetahuan, ya penggunaannya hanya sebatas yang dihafalkan saja, bukan digunakan untuk berpikir yang lebih kritis!

Wahai para guru, coba kalian renungkan! Sebenarnya, di sekolah, kalian sudah memberi kesempatan para siswa untuk bertanya jika ada yang belum dimengerti. Itu sudah bagus. Tapi, yang paling sulit, ya mengajak mereka untuk lebih aktif bertanya dalam pembelajaran.

Di Barat, para siswa-siswi di sana memang sudah diajarkan untuk aktif bertanya dan mengutarakan pendapatnya tentang apa yang dipelajari, bukan sekadar duduk diam di kelas lalu "menyetujui" apa yang telah diajarkan. Akibatnya, dengan cara itulah, pengetahuan mereka akan bertambah, dan membawa kemajuan bagi negaranya!

Nah, para guru, berkaca dengan hal-hal itu, bisa tidak kalian menirukannya?

Ingat, ketika para siswa ingin bertanya, otomatis otak mereka akan dipaksa untuk memikirkan, dan menyiapkan pertanyaan apa yang belum dipahami saat belajar-mengajar. Bisa juga, para siswa diajarkan untuk berpikir ala ilmuwan saat belajar Sains. Jadinya, mereka akan terlatih untuk berpikir dan terus berpikir untuk pembelajaran di jenjang berikutnya.

Oh ya, selain itu, kalian bisa membiasakan untuk rajin membaca dan menulis---paling sederhananya, menulis materi sambil mengingat pelajaran di buku tulis. Karena kedua kegiatan berliterasi ini, sudah jelas membuat mereka harus berpikir untuk melakukannya. Enggak mungkin 'kan, menulis sambil melihat materi? Hehe :D

Ya, mudah-mudahan, dengan metode pembelajaran dengan berpikir, siswa-siswi Indonesia bisa lepas dari "penjajahan" lewat hafalan, menuju pemikiran yang lebih MERDEKA!

Akhir kata, Dirgahayu Indonesiaku yang ke-72. Semoga dunia pendidikan kita bisa menyusul, melawan "penjajah" dalam pembelajaran , sehingga bisa merasakan indahnya kemerdekaan saat belajar!

Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun