Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dunia Pendidikan yang Rindu Meraih "Kemerdekaan"

17 Agustus 2017   22:13 Diperbarui: 18 Agustus 2017   06:07 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak hanya masalah pelajaran yang "berat", jumlah mata pelajaran yang diajarkan juga kebanyakan. Mungkin saja, mereka ingin agar anak-anak Indonesia bisa menguasai semua mata pelajaran di sekolah, yang tercermin dari nilai-nilai rapor sekolah. Anggapan-anggapan itulah, yang kemudian menjadi dasar bagi orang tua untuk memasukkan anak-anaknya ke lembaga les, untuk meraih apa yang mereka inginkan.

Tapi, apa iya anak-anak bisa pintar semua mata pelajaran? Rasa-rasanya, itu pasti tidak mungkin!

Pasalnya, saya yakin anak-anak Indonesia, terlahir dengan potensi unik dan teristimewa. Punya bakat dan minat yang harus tergali dengan baik. Kalau dijabarkan dalam istilah psikologinya, bisa berupa kecerdasan majemuk!

Namun, teori ini tidaklah membuat sistem pendidikan kita menjadi "sadar". Masih banyak kalangan yang mendewakan matematika dan bahasa asing sebagai tolak ukur kepintaran dan kesuksesan, yang dianggap bisa memberikan masa depan yang cerah. Please deh, hentikanlah anggapan-anggapan seperti itu!

Oke, kembali ke jumlah mata pelajaran. Menurut apa yang saya baca di buku Self Driving karya Rhenald Kasali, di negara-negara maju semacam Amerika dan Australia, untuk siswa-siswi setingkat SMA, mereka diwajibkan mengambil dua mata pelajaran, dan memilih empat mata pelajaran yang disukai. Sedangkan di negara kita? 16-18 pelajaran!

Bener-bener "gila", ya!

Tak heran, siswa-siswi di Indonesia bisa stress menghadapi beban pelajaran yang jumlahnya bejibun itu. "Memaksa" otak untuk terus mempelajari pelajaran yang sebenarnya bukan passion mereka. Ingin memilih mata pelajaran, nggak bisa, karena terhalang oleh sistem---bahkan setelah dibagi jurusan sewaktu SMA. Ya sudah, apa boleh buat. Jadilah kami "dijajah" oleh belenggu sistem dan beban pelajaran di negeri sendiri.

Duuh, kalau "bercermin" dari membaca artikel di internet tentang kisah Izzan yang belajar sesuai passion---memilih pelajaran yang disukai hingga menembus ITB di usia muda, bisa enggak ya, Indonesia bisa melakukan hal-hal seperti ini?

Metode Pengajaran Guru yang "Kurang Tepat"

Sewaktu kami duduk di bangku sekolah, ketika tiba jam pelajaran, biasanya kami mempersiapkan diri dengan buku sesuai mata pelajaran yang diajarkan di kelas tersebut, dan tentu saja alat tulis. Setelah sang guru datang ke kelas, barulah beliau mengajarkan pelajaran yang akan dibahas hari ini, kebanyakan dengan metode ceramah. Setelah waktu pelajaran berakhir, barulah sang guru itu pergi.

Tapi, lama-kelamaan, seiring waktu dan teknologi, metode pelajaran pun diubah. Kami disuruh presentasi mata pelajaran, baik sendiri maupun berkelompok. Untuk presentasi kelompok, kami mencari bahan pelajaran lewat internet, buat PowerPoint, lalu dipresentasikan di depan kelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun