Bibirku tak henti-hentinya mengucapkan kata istighfar. Bersamaan dengan berlinang air mata, kala saya membaca kabar tak terduga pada pagi harinya. Ya, vokalis Linkin Park, Chester Bennington, harus "berpulang lebih cepat" karena penyebab yang tragis: bunuh diri!
Hah? Bunuh diri? Kurasa, membaca berita-berita tentang kematian beliau, jalan pelarian yang sekaligus mengakhiri kiprahnya di dunia, adalah akumulasi dari problema-problema hidupnya, yang berpuncak pada penggunaan narkoba dan obat-obatan terlarang.
Melihat berita kematian Chester yang sedang jadi trending akhir-akhir ini, saya lantas merenung. Setelah memikirkannya secara mendalam, ada satu yang luput dari kehidupannya; yaitu soal spiritualitas dan pengalaman rohaninya. Memang selama hidupnya, sepertinya beliau tak pernah bersentuhan dengan kegiatan rohaninya, padahal sudah jelas-jelas, beliau semasa kecil telah mengalami depresi akibat korban perundungan (bully)!
Andai diberi kesempatan untuk memperbaiki diri, merasakan "pengalaman rohaninya", beliau akan berubah. Tapi, sayangnya sudah terlambat. Ya, setidaknya kejadian ini, jadi pelajaran bagiku yang masih hidup di dunia, untuk membenahi diri menjadi lebih baik.
***
Saya yakin, kasus serupa tak hanya terjadi di daratan Amerika. Di Indonesia, sudah banyak para artis yang terjebak pada dunia narkoba. "Panggung" di mana orang-orang ingin mempopulerkan diri di dunia seni, di antara mereka sudah menyimpang dari hal-hal positif. Bukannya menginspirasi, eh malah mencoreng diri sendiri!
Tapi, syukurlah, ada di antara mereka yang memutuskan untuk "mengubah diri" menjadi lebih religius. Malah, ada yang rutin salat berjamaah sepulang umroh. Membaca berita-berita tersebut, rasanya diriku menilainya sangat inspiratif. Setidaknya, harus jadi semangat untuk memberdayakan diri dengan hal-hal yang bersifat positif.
Tak hanya di dunia seni saja, orang biasa seperti kita juga sebaiknya diperkaya dengan kegiatan ruhani, sesuai agama yang kita yakini. Bahkan, pada zaman sekarang ini, berita-berita negatif seperti hoax, ujaran kebencian, sampai berita kriminal dan narkoba, yang bisa membuat kuping kita "panas" dan melelahkan jiwa! Dari situlah, kebugaran spriritual (spiritual fitness) diperlukan, agar bisa mengendalikan kondisi jiwa kita agar tetap lebih baik, iyaa 'kan?
Tapi, saat ini saja, kebutuhan spiritualitas susah ditemui, malahan, berubah jadi "barang langka". Kalau di kota, itupun hanya di tempat-tempat tertentu. Kalau di desa? Hmmm, sepertinya jarang sekali. Padahal, bagi sebagian orang yang rindu ketenangan dan kebahagiaan, yang haus akan siraman rohani, datang ke kegiatan-kegiatan keagamaan, adalah solusi yang terbaik.
Entahlah. Diriku juga merindukan kegiatan kerohanian, apalagi setelah mengingat kenangan masa SMA yang berpuncak pada kegiatan eksul Rohis. Masalahnya, di desaku, hampir tak ada pengajian yang melibatkan anak-anak muda. Padahal, saya pernah mengikutinya, dan di sekolah, ketika ikut Rohis, saya mendapatkan "sesuatu" yang lumayan bisa meningkatkan spiritualitasku!
Beda dengan sahabatku yang kini tinggal di kabupaten tetangga. Ketika kami chat (seperti yang disertakan dalam screenshot di bawah) dan dia mengikutinya (karena ada pengajian), saya merasa iri! Semenjak lulus sekolah dan otomatis tidak ikut eskul kerohanian lagi, kehampaan jiwa, jelas kurasakan. Tapi, tak ada pilihan lain, selain harus berjuang membenahi pribadi, seorang diri.
Kenapa ya, bisa terjadi demikian?
Menurut buku Ungkapan Hikmah karya Pak Komaruddin Hidayat, kita sebagai manusia, memang mudah puas dan terbelenggu dengan pengalaman-pengalaman indrawi; yaitu pengalaman secara fisik dan bisa terlihat. Ya, memang bisa dilihat 'kan, ketika hidup di dunia, memang kegiatan sehari-hari didominasi dengan hal-hal yang "terlihat jelas" dengan mata kepala.
Misalnya, ketika kita bekerja, bersekolah, atau hal-hal lainnya, melibatkan benda-benda yang jelas-jelas bersifat fisik. Termasuk dalam menulis, yang meskipun melibatkan mental dan pikiran, tetap saja terwujud dalam susunan huruf yang membentuk kata-kata, yang juga bisa dilihat siapa pun. Dengan cara itulah, dengan melihat hal-hal fisik, kebanyakan dari mereka sudah bisa mendapatkan kepuasan dalam hidupnya.
Tapi.... tunggu dulu. Apakah kepuasan fisikal memang sudah terpenuhi? Ternyata , sesungguhnya hal ini tidaklah cukup!
Pasalnya, pengalaman-pengalaman indrawi hanya terbatas pada yang kita lihat saja. Makanya, pengalaman tersebut masih dangkal. Buktinya, seperti yang dialami oleh vokalis Linkin Park ini. Walaupun sudah berkarier belasan tahun di bidang seni dan menganggap hal ini mendamaikan batin dan bisa melupakan traumanya, toh pada akhirnya beliau bunuh diri. Artinya, kebahagiaan tersebut masih belum apa-apanya!
Jadi, kegiatan menulis yang merupakan intellectual happiness, berkesenian yang jadi bagian dari aestetical happiness, sebenarnya masih kalah dibandingkan kebahagiaan tertinggi yang ditawarkan-Nya kepada manusia. Masih ingat tidak, tangga-tangga kebahagiaan itu? Di antara beberapa kebahagiaan, spiritual happiness menempati "puncak" dari segala tangga-tangga kebahagiaan, yang tentunya lebih sejati.
Yup! Kebahagiaan spiritual, memang tak terbatas.  Namun, karena spiritualitas adalah soal hubungan kita kepada Tuhan yang Mahaluas, tentu menjadi terbatas  jika kita "menjelaskan" pengalaman tersebut kepada orang lain, karena kebahagiaan tersebut terjadi di luar fisik alias ruhani, dan bersifat emosional-psikologis. Karena spiritualitas itu "tak terlihat", sedangkan kita memang terbuai dengan hal-hal yang bersifat fisik, makanya "ketimpangan" jumlah kegiatan duniawi dan kerohanian di sini beda jauh. Silakan ditebak, lebih rame mana? Pasar, atau tempat ibadah? Pasti akan menjawab pasar, 'kan?
Karena itulah, kita memang selayaknya mendapatkan asupan spiritual, apalagi bagi kaum introvertyang sudah pasti menyukai hal-hal yang bersifat psikis. Kalian tahu, apa alasannya? Menurut yang saya baca di buku The Introvert Advantage, spiritualitas bisa mengurangi perasaan kewalahan, tertekan, dan bisa memberikan energi mental untuk menjalani hari demi hari, di muka bumi ini.
Bahkan, orang yang punya spiritualitas tinggi, justru terpancar sikap altruisme-nya, mengasihi sesamanya, dan bisa menjaga integritas dan tanggung jawab selama hidup di dunia, bukan?
Lalu, gimana caranya, untuk bisa mendapatkan kepuasan spiritual?
Seperti yang telah saya utarakan di atas, langkah yang terbaik untuk mendapatkan kepuasan ruhani, tentu saja dengan bergabung ke komunitas keagamaan, sesuai agama yang kita imani. Dengan demikan, ada banyak orang-orang yang sevisi dengan kita, yang bisa menyemangati kita untuk melakukan hal-hal baik, bener 'kan?
Tapi, memang iya, lingkungan bisa berpengaruh, apalagi kita hidup di lingkungan yang kurang religius. Tapi, sebenarnya hal ini bukan alasan untuk bisa memperbaiki diri! Kita bisa kok, memperdalam agama sendiri, lewat buku-buku atau bacaan daring, atau bisa menonton siaran televisi dan radio yang memang membahas kerohanian. Kalau ada sahabat yang bisa mengingatkan diri kita walaupun lewat chat, itu lebih baik, karena diharapkan bisa memotivasi diri untuk bergerak menuju pribadi yang penuh kebaikan.
Ya, semoga kejadian-kejadian buruk akibat perkembangan teknologi, tidak sampai menggoyahkan diri kita, malah bisa dipertahankan dalam kondisi terbaik!
Demikianlah, semoga bermanfaat. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H