Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengungkap Status Afi dari Sudut Pandang Fakta Primordial

4 Juni 2017   21:20 Diperbarui: 4 Juni 2017   21:37 1438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.

Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan.
Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan." - 
Afi Nihaya Faradisa

Inilah kutipan dari status Facebook bertajuk "Warisan", yang ditulis oleh remaja SMA fresh graduate, Afi Nihaya Faradisa. Meskipun statusnya menjadi heboh karena ke-viralnya di dunia maya dan sempat diwarnai drama atas tuduhan plagiatisme, toh hal ini tidak menghalangi Afi untuk menerima banyak pujian, dan apresiasi oleh berbagai kalangan, termasuk Menteri Agama sekalipun. Dan, kabar baiknya lagi, Presiden Jokowi akan mengundang gadis yang bernama asli Asa Firda Inayah tersebut, ke Istana Negara!

Hmmm, membaca kalimat-kalimat yang telah terangkai baik oleh tangan-tangan Afi (yang saya baca dari situs Web, bukan Facebook), saya jadi merenung, dan lagi-lagi saya teringat dengan apa yang telah saya baca di beberapa literatur. Dan, dalam tulisan ini, saya mencoba untuk mengungkapkan sisi lain dari status yang tercipta dari seorang gadis asal Banyuwangi ini. Tentu saja, dari sudut pandang ilmu sosial. Semoga kalian paham apa yang saya tafsirkan dari status Afi ini, ya!

***

Sebelum kita terlahir di dunia ini, kita semua tentu pernah berada dalam kandungan ibu selama sembilan bulan, 'kan? Dan, ketika ibu berjuang untuk melahirkan kita semua, dan akhirnya kita bisa menghirup udara dunia untuk yang pertama kalinya, kita sebenarnya tak tahu, dimanakah diri kita saat itu. Jangankan daerah tempat lahir, negara, maupun belahan bumi mana, kita masih belum mengetahuinya, sebelum dikenalkan oleh lingkungan, bukan?

Bahkan, dari orang tua dari etnis mana dan agamanya, keluarganya dari kalangan apa, kita juga tidak tahu. Dan, pada akhirnya, seriring berjalannya waktu, kita mengetahui daerah mana kita lahir dan tinggali, keluarganya, dan suku serta agama yang dianut. Ya, itulah takdir kita. Apapun yang ditentukanNya, itulah yang terbaik, dan kita semua harus bisa menerimanya.

"Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir..."

Kalau mencermati kalimat di atas, saya sangat setuju. Begitu juga dengan kalian semua. Kita, memang tak bisa memilih tempat dimana kita akan dilahirkan. Ya, walaupun kita pernah mengandaikan diri kita balik ke masa lalu terus ingin lahir di Tanah Arab, misalnya, rasanya itu mustahil. Waktu tak bisa diputar kembali. Kalau Tuhan menakdirkan kita lahir di Indonesia, ya terjadilah. Kita memang terlahir di bumi Indonesia.

Fenomena tersebut rupanya sudah saya baca di buku Life's Journey karya Pak Komaruddin Hidayat, tepatnya pada epilog "Merayakan Kebebasan". Dalam tulisannya, beliau mengatakan begini:

Oleh karena itu, realitas yang mesti kita terima dan terkondisikan sebelum kita dilahirkan, disebut sebagai fakta primordial.

Jadi.... tentu tak etis kalau kita membenci diri kita, terlahir tak sesuai keinginan dan keadaan, apalagi mencaci maki dan menghina orang lain yang berlainan suku, bangsa, dan agamanya. Apalagi kalau kita mengingat kembali kasus salah satu artis yang menghina Papua, maupun mahasiswi yang mencemarkan nama baik Yogyakarta di media sosial, duuuh rasanya mereka pengen disadarkan deh, apa arti fakta primordial itu dalam kehidupan, untuk diri sendiri, maupun orang lain. Dengan demikian, mereka akan lebih menghargai perbedaan di antara sesamanya, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun