SEMINGGU yang lalu, saya kedatangan petugas membawa sebuah paket dari pak Thamrin Sonata. Setelah ditandatangani, segera saya buka paket tersebut dengan perasaan malu-malu. Ketika dibuka, bukunya cukup tebal, saya sangka buku Sehangat Matahari Pagi-nya belum ada. eh, malah salah! Buku tersebut juga disertakan dengan buku Beranda Rasa karangan Pak Tjipta (lihat foto utama). Langsung saya minta maaf sekaligus mengatakan paket tersebut sudah diterima. Thanks ya pak TS!
***
Mau merasakan pelajaran hidup dari orang lain? Tak perlu menunggu mesin waktu canggih ala Doraemon atau sebuah Lorong Waktu yang dijadikan nama sinetron religi nge-hits pada akhir 1990-an itu. Buku adalah kunci yang telah menjawab itu semua. sesuai fungsinya sebagai jendela dunia, buku juga membuat kita membuka pandangan dan mengambil kisah hidup yang penuh pelajaran tanpa mengalami masa-masa pahit berpuluh-puluh tahun lamanya. Menurut kalimat bijak yang saya baca, membaca itu dapat membuat orang secerdas para sarjana dan menjadi arif layaknya orang yang bijaksana.
Mencermati buku tentang Pak Tjipta yang ditulis keroyokan, Sehangat Matahari Pagi, disamping memberi pandangan mengenai sosoknya yang menginspirasi, juga mendokumentasikan tulisan-tulisan yang terdiri dari opini, komentar, surat, hingga puisi, yang terkumpul beberapa tahun lamanya. Tidak hanya tulisan tahun 2015 saja, tulisan-tulisan yang dibuat pada tahun 2014 dan 2013 juga dikumpulkan, ya meskipun kebanyakan artikel yang dimuat di buku ini tidak mencantumkan tanggal buatnya, tapi di database Kompasiana, semuanya tersedia!
Semua tulisan tersebut, dibahas secara beranekaragam. Sekali lagi, BERANEKARAGAM! Dari perayaan ulang tahun pernikahan berusia emas, talkshow di sebuah stasiun TV, hadiah beliau untuk salah satu Kompasianer diaspora, perbandingan keromantisan pasangan pak Tjipta dan ibu Lina dengan pasangan artis dan (mantan) pejabat, dan semua bentuk tulisan yang bermuara pada sosok Pak Tjipta (juga ibu Lina, tentunya!).
Meskipun menginspirasi karena secara tidak langsung belajar nilai positif di buku keroyokan ini, apakah sudah cukup? Oh tidaaaak! Harusnya kalian baca artikel langsung dari si penulisnya sendiri. Dalam hal ini, saya juga dapat buku Pak Tjipta sendiri, Beranda Rasa.
Buku Beranda Rasa adalah buku yang berasal dari artikel-artikel Pak Tjipta yang ditulis di Kompasiana sepanjang awal bergabung hingga tahun 2014. Artikel tersebut adalah artikel-artikel terpilih yang kemudian dibukukan, menyambut Kompasianival 2014 (kalau gak salah sih) dan juga menyambut ulang tahun pernikahan emas ke-50 bersama ibu Helena Roselina. Sekadar diketahui, pasangan tersebut menikah pada tanggal 2 Januari 1965 dan pasangan tersebut hingga kini tetap bersama-sama di berbagai kesempatan. Langgeng!
Buku tersebut merangkum berbagai kisah hidup, pelajaran hidup, inspirasi, hingga tulisan tentang Kompasiana, tentu saja. Bahkan cara menerbitkan buku bagi yang ingin jadi penulis buku, juga tersedia di buku ini. Perlu diketahui sebelum beliau nge-blog di Kompasiana, beliau adalah penulis buku best-seller dimana salah satu buku tersebut dicetak ulang sebanyak 9 kali oleh salah satu penerbit ternama dibawah naungan Kompas Gramedia.
Apalagi ditutup dengan epilog dari istrinya sendiri, berisikan kisah cinta mereka yang berawal dari sekolah. Hubungan yang awalnya sebatas kakak dan adik kelas dan diberi julukan “cinta payung” karena menawarkan payung kepada salah satu wanita terpilih saat hujan tiba, akhirnya berubah menjadi pasangan yang penuh harmonis, hingga saat ini.
Tiada gading yang tak retak. Begitu juga dengan kedua buku ini. kekurangan-kekurangan pada halaman per halaman akan bermunculan, pasti ada. ketika membuka halaman per halaman buku Sehangat Matahari Pagi, kesalahan tata letak hingga halaman ditemukan terbalik terjadi pada halaman komentar dimana komentar pak Bamset dan mbak Mike terpampang di sana. Sedangkan pada buku Beranda Rasa, kesalahan editor yang saya temukan pada tulisan “phisik” yang seharusnya ditulis fisik (karena pengaruh kosakata Inggris mungkin yang terbiasa menulis selama di luar negeri), juga masih ada di buku tersebut. Apalagi jenis fontnya bercampur-campur antara Calibri dan Times New Roman!
Kelemahan tersebut, harusnya jadi masukan buat editornya ya, biar mengedit naskah biar enak dibaca sesuai pakem Bahasa Indonesia yang baik, juga agar rapi saat dicetak nanti. Dan semuanya perlu waktu yang panjang, tak asal terburu-buru!
***
Ketika saya membaca isi kedua buku tersebut yang pernah diposting di Kompasiana, saya terasa kembali ke masa lalu. Iya, seakan-akan saya membaca artikel lawas di sini, bukan sekadar membaca kisah masa lalu yang penuh pelajaran dari si penulisnya . Memang iya, buku tersebut sebenarnya adalah kumpulan artikel-artikel lama di Kompasiana, bukan buku yang 100 persen adalah bahan yang masih fresh sebagaimana yang ditemukan di buku-buku yang dipajang di toko buku. Tapi, bagi saya yang baru aktif menulis pada awal tahun ini, kedua buku ini telah memberi pengetahuan baru, iya itu tadi, bisa membaca artikel lawas tersebut secara tidak langsung!
Mengapa? walaupun zaman sekarang ini semua informasi tersedia. Meskipun demikian, kalau mencarinya tidak tahu keyword-nya, ‘kan repot, apalagi harus menuju ke profil dan mencari artikel yang kita inginkan, terlebih artikel di profil telah berjumlah ribuan! Ditambah dengan jutaaan artikel dari Kompasianer lainnya yang telah dihasilkan, sepanjang Kompasiana ada. Apalagi manusia zaman sekarang, untuk membaca berita, baik berita mainstream maupun berita warga, pada umumnya pasti membaca konten yang baru dan fresh. Mau baca konten lama? Pada umumnya tak punya waktu, kecuali kalau ‘kesasar’ ke konten lama yang kita cari, hehe :D
Bagi pencinta buku, kehadiran buku hasil nge-blog itu memberi sensasi berbeda ketika membaca konten online. Membaca konten online membuat saya cepat lupa terhadap isinya, kecuali jika divisualisasikan di pikiran saat membacanya (iyaa saya ‘kan gaya belajarnya visual!). Makanya, membaca buku yang mempunyai segudang kelebihan khasiat pada otak itu, bagi saya itu sebenarnya sangat bagus (dan dijadikan alternatif), meskipun tidak sepraktis e-book di gadget. Apalagi buku hasil nge-blog, kan banyak orang yang melakukannya. Tak hanya warga biasa, komika Raditya Dika pun pernah melakukannya, menerbitkan buku hasil nge-blog!
Tak peduli artikel lama atau baru, sepanjang memberi pengetahuan, apa salahnya? Ini semua tergantung apakah kita ini suka membaca (buku) atau tidak, karena selama ini minat baca di Indonesia, masih sangat rendah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H