3. Lapangan yang digunakan harus benar-benar dijaga agar tetap basah, dan tanahnya tetap encer, setidaknya bertekstur seperti lumpur, serta tidak terlalu liat, apalagi saat di musim kemarau, air akan cepat menguap, dan perlahan lumpur akan liat dan mengering. Karena, jika kondisi lumpur menjadi liat, akan menyulitkan para pemain. Itulah sebabnya, pompa air listrik terus dinyalakan dan menyedot airnya ke lapangan yang digunakan, untuk kenyamanan para pemain yang sedang bertanding.
4. Pertandingan sepak bola lumpur yang digelar di desa tetangga, tidak hanya digelar sehari-dua hari saja, pertandingan tersebut digelar beberapa hari, sampai pada puncak pertandingan yang disebut GRAND FINAL! Ya namanya saja pertandingan. Karena digelar oleh desa, maka juara yang akan diraih ya berstatus juara kampung. Serendah-rendahnya tingkat kejuaraan, rasanya jika mendapatkan prestasi, sudah membuat hati yang pernah berjuang untuk menang, seseorang yang terlibat dalam tim akan bangga akan hasil pencapaiannya.
Oke, sekian dulu ya penjelasan saya tentang permainan rakyat yang kurang “merakyat” itu. Nah, diantara kalian, siapa yang tertarik untuk menggelar sepak bola lumpur untuk memeriahkan tujuh belasan (dan even-even penting lainnya)? Dijamin kalian tidak akan bosan untuk meramaikan dan menontonnya karena sudah dimasukkan dalam perlombaan yang akan digelar sehingga menambah ragam perlombaan yang semakin variatif.
Demikianlah, semoga bisa menginspirasi. Salam Kompasiana!
Referensi berita: tribunnews.com, koran-sindo.com | Ilustrasi gambar: Huffington Post