Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

(Mau) Pindah Kewarganegaraan? Pikirkanlah Secara Matang!

9 Juli 2015   03:34 Diperbarui: 9 Juli 2015   06:53 22752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membaca artikel dari Kompasianer Putu Djuanta membuat saya tahu tentang masa depan Martunis yang ingin menjadi pemain bola kelas dunia. Apalagi, saya melihat newsticker dari program berita Liputan6 Petang yang menyatakan bahwa Martunis tertarik menjadi warga negara Portugal. Tidak ada yang salah memang, itu sudah menjadi hak masing-masing orang.

Tapi perlu diingat bahwa masa karir di luar negeri itu hanya sementara kok. Pemain bola batas bermainnya sampai pensiun. Mahasiswa batas belajarnya sampai wisuda. Jika ingin tinggal lebih lama di luar negeri karena berbagai alasan, silahkan saja, asalkan mematuhi ketentuan yang berlaku.

Pindah Kewarganegaraan, Tanda Tidak Cinta Tanah Air?

Ada yang ingin mempertahankan warga negara aslinya di luar negeri, adapula yang muak dengan negara asalnya sehingga ingin pindah menjadi warga negara lain. Itu sudah menjadi keinginan hati masing-masing orang, itu hak individu dan tidak ada yang memaksa.

Menurut hemat saya, itu semua tergantung pada rasa cinta kepada tanah air. Nah, pertanyaannya adalah, sudahkah Kompasianer sudah menanamkan rasa cinta tanah air? Karena pada zaman sekarang ini, banyak warga Indonesia yang terbuai dengan pengaruh asing yang sedemikian “wah”, sehingga jika tidak diantisipasi, bisa mengikis rasa cinta tanah air. Generasi muda Indonesia sudah tidak mengetahui Indonesia dan seluk-beluknya, sehingga jika ditanya: “Indonesia itu apa sih?”, malah tidak bisa menjawab!

Oleh karena itu, daripada terpengaruh pada pengaruh asing yang sedemikian massif, mending pendidikan kebangsaan dan nasionalisme dimulai dari skala kecil. Dirumah! Dan saya sudah membaca sebagian artikel di Kompas Minggu, bahwa Dhiyandra Natalegawa, yang merupakan kerabat dari Mantan Menlu Marty Natalegawa, meskipun lahir dan dibesarkan ke Inggris, Dhiyandra tidak melupakan tanah leluhurnya, Indonesia. Oleh karena itu, dirumah, selain wajib menggunakan bahasa Indonesia walaupun di luar negeri, ada koleksi wayang dan peta Indonesia di tempat tinggalnya tersebut. Nah, bagi Kompasianer yang tinggal di luar negeri, ini bisa menjadi inspirasi, bukan? Jika ada pasangan Indonesia yang tinggal di luar negeri dan dirumah mereka yang diajarkan bahasa daerah, itu lebih baik, sehingga mereka tidak lupa dengan tanah airnya sendiri.

Namun, lagi-lagi peraturan di suatu negara berbeda-beda. Ada yang mempertimbangkan untuk pindah kewarganegaraan jika ingin tinggal dan berkarir di luar negeri, ada yang memberi kebebasan. No problem. Lantas, jika seseorang pindah kewarganegaraan, apa pertimbangannya? Simak di bagian selanjutnya, ya!

Pertimbangan dan Resiko Jika Seseorang Pindah Kewarganegaraan

Ketika seseorang hendak berkarir dan tinggal di luar negeri akan dihadapkan dengan dua pilihan: tetap mempertahankan kewarganegaraan aslinya dan ingin pindah ke warga negara lain. Itu tergantung pada hati dan peraturan di suatu negara, seperti yang saya jelaskan tadi. Namun, jika seseorang resmi melepaskan status kewarganegaraan aslinya, akan mempertimbangkan hal-hal seperti berikut:

Pertama: Jika menjadi warga negara lain, akan diberi tunjangan hidup dari pemerintah dan fasilitas lainnya, misalnya. Itu terjadi pada negara yang perekonominya baik. Bagi sebagian orang, itu terasa menggiurkan, bukan? Tapi bagi orang yang hatinya teguh pada tanah airnya, ia akan menolak penawaran tersebut.

Kedua: Jika ingin mendapatkan kembali status kewarganegaraan aslinya, terutama di masa pensiun karier, dia akan mengurus lagi persyaratan untuk ingin menjadi warga negara aslinya. Karena terkadang mengurus persyaratan untuk memperoleh suatu kewarganegaraan, itu ribet dan membutuhkan waktu lama, apalagi orang asing harus paham bahasa dan budaya Indonesia, tak peduli dia keturunan Indonesia atau bukan. Ingat, hal tersebut harus pertimbangkan matang-matang, jangan ‘mempermainkan’ pemerintah dong! Sudah melepas kewarganegaraan, ingin tinggal di Indonesia dan ingin mendapatkan status WNI lagi. Itu yang kadang ‘merepotkan’.

Ketiga: Berkaitan dengan generasi emas Indonesia, misal para juara Olimpiade baik sains maupun olahraga. Jika melepaskan status kewarganegaraan dengan berbagai alasan, Indonesia akan kehilangan generasi berprestasi. Padahal, di tangan mereka, prestasi Indonesia bisa ditunjukan di berbagai bidang, dan suatu saat nanti, jika mereka pensiun, mereka pasti dibutuhkan ‘kan untuk memberdayakan generasi muda biar bisa berprestasi seperti mereka? Contohnya, ada ilmuwan Indonesia yang saat ini masih betah di luar negeri. Padahal, jika dia pulang ke Indonesia, dia bisa mengembangkan teknologinya agar Indonesia bisa maju dan tidak dibilang ‘terbelakang’ oleh negara lain.

Nah, ketiga hal tersebut harus dipertimbangkan dan memikirkan resiko yang terjadi. Ikuti kata hati dan jangan terkesan plin-plan. Kalau sudah mantap, ya dilaksanakan. Jangan ragu!

Banyaknya WNI yang Pindah Kewarganegaaraan, PR Bagi Pemerintah

Karena sudah banyak WNI yang pindah kewarganegaraan karena berbagai alasan, itu menjadi PR bagi pemerintah, terlebih di wilayah perbatasan. Karena di wilayah itulah, mereka rawan menjadi warga negara lain karena tergiur dengan fasilitas yang lebih baik. Begitu pula dengan berita-berita lainnya yang kesemuanya tentang pindah kewarganegaraan.

Sekarang, ibaratnya begini: Jika di suatu hotel disediakan fasilitas yang baik dan lengkap, maka penghuni hotel akan betah di dalamnya, bukan? Begitu pula dengan fasilitas di suatu negara, yang menjamin kenyamanan bagi warga negara tersebut. Oleh karena itu, hendaknya pemerintah lebih memperhatikan warga yang berada di perbatasan dan bangunkanlah fasilitas yang baik agar setara dengan warga yang berada di wilayah lainnya.

Apalagi, Indonesia bulan depan akan memasuki usia ke-70 tahun. Seharusnya pendidikan nasionalisme mulai digalakkan kembali ke sekolah-sekolah, agar generasi muda Indonesia tidak terpengaruh pada pengaruh asing yang sudah merasuki negara kita di berbagai bidang. Oiya, satu lagi, berkaitan dengan generasi muda Indonesia yang berprestasi. Berikanlah ruang bagi mereka untuk terus berkarya di negeri sendiri. Jangan lupa, pemerintah harus diperhatikan dengan karya mereka, misalnya pemberian hak cipta. Dengan demikian, karya mereka akan diakui asli Indonesia dan tidak diklaim oleh negara lain, bukan?

Demikianlah, semoga bermanfaat. Salam Kompasiana!

Sumber berita: news.okezone.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun