[caption id="attachment_413294" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption]
Masih segar dalam pikiran saya saat itu....
Waktu saya duduk di bangku SMA, saya dan teman-teman mendapatkan tugas untuk meresensi novel. Saya lebih memilih meresensi novel lain, sedangkan salah satu teman saya ingin meminjam buku novel Laskar Pelangi punya saya. Awalnya saya mengatakan hilang, namun sesampainya di rumah, ternyata buku tersebut diletakkan di gudang di dalam kotak kardus. Merasa bersalah, akhirnya saya meminta maaf pada teman saya dan meminjamkan buku novel tersebut kepada teman saya, meskipun ada beberapa halaman yang hilang, itu tidak menjadi masalah untuknya.
Setelah menempati rumah baru, saya sebenarnya ingin mempunyai perpustakaan kecil di rumah. Namun baru kesampaian saat peringatan Hari Buku Sedunia, 23 April lalu. Saya melihat buku-buku dan majalah yang dikumpulkan saat saya masih kecil sampai saat ini, lalu dikumpulkan dan ditempatkan jadi satu pada rak buku di meja belajar saya. Koleksinya cukup lumayan. Kebanyakan buku tersebut dibeli langsung di toko buku. Ada juga dibeli saat ada bazar buku di sekolah maupun di perpustakaan, dengan harga yang cukup murah. Hanya ada dua koleksi buku yang dipesan secara online pada situs gramediaonline.com, Hijabo Comic dan Kompasiana Etalase Warga Biasa, yang saat ini masih ditunggu kedatangannya ke rumah saya untuk dibaca.
Sedangkan majalah, kebanyakan merupakan hadiah dari pengajian, hanya satu majalah yang dibeli langsung di toko buku. Dahulu, saat saya masih SD, mama saya sering berlangganan majalah masak-masakan, bahkan kartu resep masakan pernah dikumpulkan dalam satu binder, namun sekarang majalah tersebut hilang entah kemana, karena tidak disimpan di satu tempat khusus.
Saya semakin sadar mengapa perpustakaan pribadi itu diperlukan di rumah. Saya langsung terbayang betapa buku-buku yang susah payah dibeli itu malah berakhir menjadi bungkusan makanan. Sedih. Mungkin penggunanya belum menyadari pentingnya membaca, sehingga menganggap bacaan itu 'sampah'. Padahal, dibalik bacaan, terdapat ilmunya, lho!
Karena itulah, keberadaan perpustakaan pribadi di rumah patutlah dijadikan sebagai 'tanda syukur' kita, mengapa demikian?
Pertama, karena kita mengalolasikan penghasilan kita untuk membeli sesuatu yang bermanfaat.
Jika kita dikaruniai harta yang cukup, biasanya diapakan untuk apa? Membeli makanan untuk jatah sebulan, jalan-jalan, dan hal-hal lainnya? Kalau dialokasikan lewat membeli buku, kan jauh lebih bermanfaat tuh, karena dimanfaatkan untuk membeli sesuatu yang berguna untuk kehidupan kita, misalnya, menambah pengetahuan sebagai bekal ke depannya.
 Kedua, sebagai investasi pengetahuan dan 'bernolstagia' untuk anak cucu.
Jika kita memiliki perpustakaan pribadi, otomatis tersimpan buku-buku yang dibeli dari tahun lalu, dan sekarang. Terlebih, buku yang dibeli sejak 90-an, 2000-an, zaman masih sekolah, dan sebagainya. Selain memperkaya khazanah pengetahuan di rumah, kita sambil bernolstagia ke masa lalu pada anak cucu kita. Misalnya buku biologi yang digunakan oleh anak zaman 90-an, yang dibawa oleh salah satu guru biologi di sekolah saya, beda dengan buku biologi KTSP punya saya, namun intinya, isinya sama. Hanya saja, pengetahuan akan terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Bahkan di rumah saya, ada Al-Qur'an terjemahan edisi pertama tahun 1970-an yang diberikan dari kakek saya, masih tersimpan dengan baik di rumah saya.
Ingat tidak, kalau harta akan habis jika dibagi-bagi, sedangkan ilmu, tidak akan habis? Nah itulah kelebihan ilmu dibanding harta. Sama halnya dengan buku, pengetahuan yang berwujud tulisan di kertas pun tetap awet, dan kita masih bisa menikmati pengetahuan yang didapat dari buku, sampai kapanpun, selama buku masih bisa dijaga dengan baik.
Ketiga, menghargai usaha kita dalam memperoleh buku, juga menghargai para penulis
Tahukah kalian jika di Indonesia, buku masih menjadi barang mahal bagi kalangan menengah kebawah, namun menyukai buku dan gemar membaca. Oleh karena itu, kebanyakan dari kita jarang membeli buku kecuali ada promo dan bazar buku murah, serta rela mengumpulkan uang untuk membeli buku, satu bulan minimal satu buku. Tak jarang, untuk mendapatkan buku pun harus mengorbankan uang sebanyak ratusan ribu jika buku yang diinginkan tidak ditemukan di toko buku terdekat, baik jauh-jauh ke toko buku yang lebih lengkap, maupun dipesan secara online, yang terkadang harus menunggu waktu selama tiga hari sampai lebih dari seminggu (tergantung jarak dan domisilinya)
Sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan kita dalam mendapatkan buku, alangkah baiknya jika buku-buku tersebut dikumpulkan dalam satu tempat bernama perpustakaan pribadi. Selain agar memudahkan kita dalam mencari buku sehingga tidak capek mencarinya di mana-mana, juga menghargai usaha kita dalam mendapatkan buku yang diinginkan, iya kan?
Terlebih, jika buku-buku disatukan di perpustakaan pribadi, berarti menghargai para penulis yang susah payah menciptakan karya tulis, sehingga karya mereka dinikmati banyak orang. Bayangkan saja jika LKS, majalah, maupun buku yang dihasilkan oleh para penulis, kemudian dijadikan barang rongsokan maupun pembungkus, sesungguhnya telah membuang sebagian dari pengetahuan yang seharusnya dimanfaatkan oleh orang lain, terutama bagi kalangan kurang mampu, juga tidak menghargai perjuangan para penulis yang rela mengorbankan waktunya untuk menuangkan ide dan pengetahuan mereka dalam tulisan. Sayang sekali, bukan?
Oleh karena itu, tunggu apa lagi! Daripada buku-buku tersebut berakhir di tumpukan gudang, mending dikumpulkan jadi satu dan dijadikan perpustakaan pribadi. Setelah dijadikan perpustakaan, tinggal bagaimana menumbuhkan minat baca untuk diri sendiri dan keluarga, sampai ke anak cucu. Syukur-syukur bacaan tersebut bisa berguna untuk kehidupan, apalagi sebagai bahan untuk menulis...
Demikianlah, semoga bermanfaat. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H