Bagian dari prasasti yang memuat tentang kutukan, pasti akan diawali dengan penjelasan mengenai persiapan upacara adat. Dalam upacara adat tersebutlah kutukan akan diucapkan.
Setelah persiapan selesai, kemudian dilanjutkan dengan memanjatkan doa kepada dewa-dewa dan makhluk gaib tertentu. Para dewa dan makhluk gaib inilah yang diyakini akan menjalankan kutukan tersebut. Baru kemudian prasasti menuliskan tentang peringatan dan hal buruk apa yang diharapkan atas si pelanggar hukum.
Ancaman kutukan (atau yang juga disebut sapatha) merupakan suatu cara agar rakyat patuh terhadap penguasa. Sanksi hukum macam ini memang sifatnya sakral, bukan bersifat hukuman fisik maupun denda seperti sanksi hukum yang kita kenal sekarang.
Pada masa ketika orang masih sangat percaya pada kekuatan doa dan sumpah serapah, cara ini tentu efektif. Lha kalau diterapkan jaman sekarang? Belum tentu.
Prasasti Kutukan Di Luar Jawa
Kerajaan Sriwijaya juga diketahui mengeluarkan prasasti kutukan, kira-kira pada abad ketujuh atau kedelapan. Nama prasasti yang ikut memuat hukuman kutukan ini adalah Prasasti Kota Kapur dan Telaga Batu. Bedanya, isi prasasti tersebut lebih dimaksudkan kepada para para pejabat kerajaan. Bukan rakyat umum seperti yang tertulis dalam prasasti di Jawa.
Satu yang menjadikan unik, rupanya Majapahit masih memberlakukan sanksi kutukan, pada saat kerajaan tersebut sudah memiliki kitab perundang-undangan. Hukum tindak pidana sudah diatur ketika itu, baik berupa denda maupun hukuman mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H