Mohon tunggu...
Dewi Sinta Putri
Dewi Sinta Putri Mohon Tunggu... karyawan -

Si tukang mengkhayal yang lebih senang melukis kata daripada bicara.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah dalam Kenangan

31 Agustus 2012   15:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:05 2077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

“...Allah akbar allah akbar, Lailahaillah.” Sayup-sayup terdengar suara adzan yang dikumandangkan oleh Ayah ketekku di sela tangisnya. Ayah ketek** perlahan keluar dari lubang kubur yang dulunya milik kakek kami, tetapi hari ini menjadi milik Ayahku. Air mata masih mengalir di pipi Ayah ketek, Dia menuntunku dan adikku untuk mendekat. Kakak beradik yang jarang bertemu, dan seringkali berbeda pendapat menjadi sangat dekat saat si kakak  tergeletak tak berdaya di rumah sakit.
“Ucapkan selamat tinggal,” Ibuku berkata kepadaku dan adikku dengan suara yang nyaris tak terdengar.  Ibuku maju lebih dulu menaburkan bunga dan mengucapkan salam perpisahan untuk suaminya dengan hanya Allah yang mendengarnya.

Adikku yang menabur bunga berikutnya. Masih dengan terisak Adikku bersuara, “Ya, Allah Bapak.” Hanya kata-kata itu yang keluar dari bibirnya sejak Dia bangun dari tidurnya pagi ini.
Tanah merah mulai berjatuhan ke dalam lubang kubur Ayahku, tetapi aku belum juga mengucap apapun. Bukan karena tidak tahu apa yang harus aku katakan, bukan juga karena aku tidak ingin mengatakannya. Tetapi karena aku masih marah pada Ayahku. Sejujurnya aku tidak suka dengan semua ini. Bagaimana bisa Ayahku tersenyum begitu tenang setelah meninggalkan kami? Bagaiman bisa seorang Ayah meninggalkan kedua puterinya saat keduanya bahkan tidak ada di sebelahnya? Bagaimana bisa seorang Ayah meninggalkan puteri yang menemaninya selama 23 tahun tanpa mengucapkan kata perpisahan? Bagaimana bisa Beliau meninggalkan puteri sulungnya dengan tanggung jawab besar tanpa berkata apapun?

Ibu dan Adikku mundur karena penggali kubur mulai bekerja menutup kubur Ayahku. Aku tetap di tempat, tak bergeming, hanya memandang lubang yang mulai penuh oleh tanah merah.  Aku seorang puteri yang tidak berbakti, yang sering kali bertengkar dengan Ayahnya sendiri, yang sering melalaikan perintah Ayahnya, pagi ini dipaksa untuk mengucapkan selamat tinggal pada raga Ayahku yang tak lagi bernyawa. Pagi ini si puteri sulung yang kurang ajar, yang resmi menjadi yatim dipinta untuk melepas kepergian Ayahnya ke dunia yang lebih kekal.

Aku menuntun Ibu dan adikku ke jalan setapak menuju dunia baru. Dunia baru tanpa Ayahku di dalamnya. Dunia baru yang mungkin lebih sunyi. Dunia baru yang hanya ada aku, Ibu, adikku, dan Allah sebagai pelindung kami. Dunia baru yang harus lebih indah sampai nanti Allah mempertemukan kami bertiga dengan Ayah di surga milik-Nya. Pagi ini Ayahku yang telah tak bernyawa mengajarkan banyak hal bagi kami yang masih bernafas.  Pagi ini Ayahku yang telah pergi, meninggalkan kami kenangan-kenangan berharga tentang hidup. Ayahku yang sering dikucilkan oleh keluarga dan masyarakat karena statusnya, mengajarkan kami bahwa kembali ke sisi Allah tidak dengan membawa status apalagi harta. Ayahku yang sering disingkirkan karena sikap tegasnya mengajarkan kami, bahwa ketegasan dan pendirian kuat wajib dimiliki oleh setiap muslim. Ayahku yang tak lagi bernyawa mengingatkan kami semua, bahwa setiap orang pasti akan pergi, dan bahwa setiap orang yang lain harus bersiap untuk pergi, dan  juga mengikhlaskan rasa kesedihannya.

***

Adikku tersenyum memandang televisi. “Lucu, kak,” ucapnya padaku. Aku tersenyum memandangnya, begitu juga dengan Ibu. Kami belum bisa melupakan kepergian Ayah, Kami belum terbiasa tanpa Ayah di sektar kami, tetapi kami sudah belajar untuk melepasnya, dan belajar untuk tersenyum dan kembali melanjutkan hidup.

Pagi ini seminggu setelah Ayahku tiada. Tidak ada lagi kerabat yang menginap di rumah ini, dan tidak ada lagi tetangga yang datang menemani kami. inilah hidup baruku,  hidup baru yang hanya ada Ibu, dan adikku saja di dalamnya. Bersama dengan Allah sebagai pelindung kami. Rumah tanpa kehadiran Ayah adalah sesuatu yang asing bagi kami. Pagi tanpa suara Ayah adalah pagi yang sunyi bagi kami. Tidak akan ada lagi fajar ceria untuk kami, tidak ada lagi fajar indah dengan sosok Ayahku di dalamnya, tetapi inilah kehidupan yang harus kami jalani. Dengan Allah di sisi kami, dengan semua hal yang diajarkan Ayah kepada kami, dan bersama semua kenangan yang terus hidup diingatan, kami yang masih hidup harus tetap menyongsong pagi baru. Pagi baru yang penuh rasa syukur kepada Allah dan cinta kasih kepada sesama. Kami yang masih memiliki nyawa harus tetap istiqomah di jalan Allah.
Dengan Allah bersamaku, tugasku sekarang adalah membuat bangga Ayahku yang telah tiada, membahagiakan Ibuku yang masih ada, dan melindungi Adikku satu-satunya. Karena aku dan semua orang tidak pernah tahu kapan Allah akan mengambil kembali apa-apa yang Dia titipkan disekitar kita. Tugas kitalah untuk senantiasa melakukan yang terbaik bagi titipan-Nya, dan senantiasa ikhlas jika Dia memintanya kembali.

❦❦❦

Mak Tuo*     :    Sebutan untuk Tante. Kakak wanita dari Ayah/Ibu di Padang.
Ayah Ketek**    :    Sebutan untuk Om. Adik laki-laki dari Ayah/Ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun