Aku terbangun dari tidurku. Kulirik sebelah kananku, masih ada adikku yang terlelap seperti bayi, tetapi ini bukan rumah sakit. Ini bukan lantai dingin rumah sakit yang beralaskan tikar, ini kasur tuaku yang sudah tak layak ditiduri. Ini bukan tas milik Ibuku yang kujadikan bantal, melainkan bantalku sendiri yang sedikit lembab. Ini juga bukan koridor rumah sakit tempatku tidur beberapa hari terakhir, melainkan kamar usangku yang sudah lama tak kulihat. Seharusnya aku masih di rumah sakit, seharusnya aku...
Suara lantunan surat Yassin menghentikan pikiranku. Suara Kalam Allah itu terdengar semakin jelas di telingaku. Bukan hanya satu suara, tetapi banyak. Suara-suara itu tidak terdengar seperti alunan indah di hatiku, melainkan suara perih yang menggores jantungku secara perlahan. Perlahan tanpa bisa kucegah air mata mengalir ke pipiku yang sudah kering. Ayahku sudah tiada, ayahku sudah pergi, jadi untuk apa aku masih di rumah sakit.
Kemarin, selepas adzan Magrib Ayahku menghembuskan nafas terakhirnya. Tetapi, aku tidak di sisinya saat Malaikat mencabut bagian terakhir dari nyawa Ayahku. Aku tidak di sana untuk menuntun Ayahku melafaskan Asma Allah, aku tidak di sebelahnya saat seharusnya aku mengatakan betapa aku menyanyanginya untuk terakhir kalinya. Sore itu aku dan adikku pergi ke laboratorium untuk mengambil hasil tes darah Ayahku. Aku membawa darah Ayahku yang sudah menghitam tanpa firasat apapun. Aku bahkan tidak terlalu memikirkan perkataan adikku yang tidak ingin kehilangan Ayah kami. Saat kembali ke kamar tempat Ayah di rawat, Suara tangis Ibuku seperti tamparan tak terlihat yang membuat perih mataku. Ibuku yang pendiam, Ibuku yang tertutup, yang tidak pernah mengukapkan rasa sayangnya, menangis sejadinya. Ibu duduk di lantai, di sisi Ayahku menyebut nama Allah sambil terus menangis. Aku melangkahkan kakiku yang mulai berat, medekat ke sisi ranjang Ayahku, dan di sanalah Dia Ayahku terbaring dalam diamnya dengan senyum penuh kedamaian menghias wajahnya. Aku menggenggam tangan Ayah yang masih hangat, memanggilnya berkali-kali memastikan bahwa ini bukan candaan yang biasa dilakukannya. Sementara Adikku jatuh ke lantai, berteriak memanggil Ayah berulang kali, dan menangis sekuat yang bisa dilakukannya.
Selimut adikku tersingkap. Perlahan Dia bangun dari tidurnya, dan menatapku dengan matanya yang bengkak. Semalam kami berdua menangis bersama di kamar ini sampai tertidur. Aku mencoba menenangkan adikku yang belum bisa menerima kepergiaan Ayah kami. Adikku di usianya yang masih belia telah kehilangan Ayah yang sangat Dia sayangi. “Kak, Bapak,” ucapnya lirih. Aku mendekatkan diri untuk memeluknya. “Kak, Bapak,” ucapnya lagi di antara isak tangisnya. Tidak ada kata yang bisa menghiburnya, tidak ada kata yang bisa menghilangkan kesedihannya. Jadi yang kulakukan hanyalah memeluk, dan membelai rambutnya dengan lembut. Pagi ini untuk pertama kalinya aku memeluk tubuh adikku sejak kami tumbuh besar bersama. Ingatanku melayang pada pagi seminggu yang lalu. Pagi terakhir yang kuhabiskan bersama Ayahku sebelum Beliau masuk rumah sakit. Sebenarnya setiap kali suara adzan Subuh terdengar dengan sigap Ibu membangunkan kedua puterinya. Tetapi pagi itu Ayahlah yang membangunkan kami berdua. Dengan lembut Beliau menepuk kakiku dan adikku. Dengan lembut juga Beliau memanggil-manggil nama kami, meminta kami segera bangun untuk sholat Subuh.
Pagi adalah penggalan kisah tentang Ayahku yang tidak bisa digantikan, karena hanya saat fajar saja aku bisa bertemu dengannya. Kesibukkan dunia membuat kami jarang bertemu di malam hari. Karena itulah Ayah selalu mempersembahkan pagi yang ceria untuk kami. Setiap kali fajar datang rumah ini selalu ramai oleh suara Ayahku yang besar, yang mengingatkan kami tentang waktu pagi yang singkat. Setiap kali fajar datang tidak pernah ada kisah sedih di rumah ini. Selalu saja ada hal lucu yang membuat kami bersyukur dan tersenyum di pagi hari, seperti kebiasaan Ayah yang memaksa adikku untuk sarapan sampai membuat adikku menangis, atau kebiasaan ayah yang meledek dari mana Adikku mendapatkan kulit hitamnya sementara kami bertiga berkulit putih, dan kebiasaan Ayahku yang menggoda Ibu melalui masakannya.
Kemarin malam aku masih berharap semua kehilangan ini hanyalah mimpi. Aku masih berharap Ayahku bangun dari tidurnya. Aku masih berharap bahwa akan ada lagi pagi-pagi seperti kemarin. Tetapi pagi ini, aku bangun dari mimpi kosongku. Aku terbangun dari tidur dengan semua rasa sakit yang menusuk jantungku. Fajar ini tidak ada kecerian di rumahku. Fajar ini awan gelap menyelimuti rumahku. Fajar hari ini memaksaku menerima semua kenyataan, dan rasa kehilangan. Fajar ini Ibuku resmi menjadi seorang Janda, dan fajar ini aku beserta Adikku telah menjadi seorang yatim.
Ayah adalah kepala keluarga yang tegas, teman berdebat yang tak tertandingi, teman bercanda yang mengasikkan, sampai musuh yang menyebalkan. Ayahku selalu tegas saat menyuruhku dan adikku untuk sholat tepat waktu, mengaji selepas Magrib, dan patuh pada Ibuku. Ayah selalu mengajariku tentang dunia luas, yang mungkin sebagian orang berpikir bahwa wanita tidak seharusnya tahu akan hal itu, tetapi Ayahku berpendapat bahwa Wanita harus bisa mengerjakan semua hal. Dia bahkan mengajariku bagaimana mengganti lampu, membetulkan kipas angin, sampai mengenalkanku dengan mesin motor. Ayahku juga senang bercanda, dan berbagi hal lucu yang dialaminya, walau terkadang rasa cemas dan ketakutannya yang berlebihan membuatku sebal. Beliau tidak pernah mengizinkan kedua puterinya pergi jauh tanpa pengawasannya, bahkan hingga kami menginjak usia dewasa.
***
Ibuku mengelap air matanya lagi. Sejak aku duduk di sisinya, membacakan surat Yassin untuk Ayah, mata Ibuku tidak pernah berpaling dari tubuh kaku Suaminya. Ibuku yang pendiam, yang pintar menyembunyikan rasa sayangnya, untuk pertama kalinya mengungkapkan rasa cinta mendalamnya untuk Suami terkasihnya. Kemarin malam, di dalam ambulan yang membawa jenazah Ayah pulang ke rumah, Ibuku dengan lirih di antara isak tangisnya memanggil nama Ayahku, dan berkata padaku, “Kak, sekarang Ibu seorang janda ya?” Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali menggenggam tangan rapuh Ibuku, dan menangis bersamanya.
“Ya, Allah Sul kenapa ngga nunggu gue? Kenapa lo pergi duluan??” Kakak tertua Ayahku menciumi wajah kaku adikknya. Dia terus menangis dan menyesali kedatangannya yang terlambat. “Ya, Allah Sul kenapa jadi begini?” Suara lirih Mak Tuoku* membuat mataku memanas. Ayahku yang gagah, yang tidak pernah bercerita tentang rasa sakitnya, yang tidak pernah mengeluh tentang beratnya kehidupan, yang hanya bercerita tentang indahnya hidup kepada kedua puterinya telah berbaring kaku, tak bergerak, tak juga bernafas. Inilah yang mengejutkan semua orang termaksud aku. Kemarin pagi Ayah sudah membaik, sudah bisa bercanda dengan adikku, sudah bisa menggoda Ibu untuk membuatkannya secangkir kopi, bahkan mengajakku untuk makan masakan padang kegemarannya. Tetapi selepas Magrib Allah memutuskan hal lain untuk kami.
Kerabat jauh mulai berdatangan. Ada wajah-wajah yang kukenal, dan lebih banyak lagi wajah yang tidak kukenal. Satu persatu mereka mengucapkan rasa bela sungkawanya. Menyalami Ibuku, menepuk bahuku, atau membelai kepala adikku. Sejujurnya aku tidak suka dengan posisi ini. Posisi kehilangan dan dikhasihani oleh banyak orang membuat air mataku mengalir lagi. Tetapi ini juga membuatku lega. Aku teringat sebuah perkataan yang mengatakan bahwa, ‘kebaikan seseorang akan terlihat saat orang itu meninggal dunia’. Aku mengucap syukur pada Allah karena banyak orang, dan kerabat yang datang untuk kami.
Ayahku yang sering dianggap kasar karena sikap tegasnya. Ayahku yang sering disalah artikan pendiriannya. Ayahku yang sering dianggap tidak bisa bermasyarakat karena sikap apa adanya, telah pergi meninggalkan secuil misteri. Bagaimana bisa seseorang yang kasar bisa mendidik keluarganya dengan baik? Bagaimana mungkin seseorang yang buruk pendiriannya bisa mengajarkan kedua puterinya tentang hukum agama dan hukum dunia? Dan bagaimana mungkin seseorang yang dicap tidak bisa bermasyarakat bisa memiliki banyak teman yang turut bersedih, dan mengantarnya ke peristirahatan terakhir layaknya seorang pejabat?