Kesenjangan sosial merupakan salah satu isu utama yang masih menghantui masyarakat di berbagai negara, termasuk di era modern yang diwarnai dengan kemajuan teknologi dan globalisasi. Perbedaan akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, pekerjaan yang layak, dan fasilitas dasar menjadi faktor signifikan yang memperburuk ketimpangan ini. Meskipun banyak pemerintah dan organisasi internasional telah menggalakkan program pengentasan kemiskinan dan pembangunan inklusif, kenyataannya, jurang antara kelompok masyarakat kaya dan miskin justru semakin melebar. Fenomena ini berdampak pada kualitas hidup individu dan menghambat tercapainya pembangunan berkelanjutan, karena masyarakat yang tertinggal sulit berpartisipasi aktif dalam upaya kolektif untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Ketimpangan sosial yang tidak teratasi akan terus menjadi ancaman besar bagi stabilitas sosial, ekonomi, dan lingkungan di masa depan.
Ketimpangan Akses terhadap Pendidikan dan Keterampilan
Dalam lima tahun terakhir, ketimpangan akses terhadap pendidikan di Indonesia tetap menjadi masalah signifikan, terutama antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa di perkotaan, 49,16% penduduk usia 15 tahun ke atas telah menamatkan pendidikan SMA atau sederajat, sedangkan di perdesaan hanya 27,98%. Sebagian besar penduduk pedesaan hanya menyelesaikan pendidikan dasar, yaitu 31,13%, dibandingkan dengan 15,73% di perkotaan.Â
Infrastruktur pendidikan seperti laboratorium, perpustakaan, dan akses internet yang sangat terbatas di desa semakin memperburuk situasi, terlebih saat pandemi COVID-19 ketika pembelajaran daring tidak dapat dilaksanakan secara efektif di wilayah terpencil. Program-program seperti zonasi sekolah bertujuan untuk mengurangi ketimpangan ini, tetapi tantangan dalam implementasi, seperti kurangnya fasilitas dan kualitas pengajar di daerah terpencil, masih menjadi hambatan besar. Kondisi ini mengindikasikan bahwa ketimpangan pendidikan tetap menjadi hambatan signifikan bagi pembangunan berkelanjutan, menghalangi generasi muda di perdesaan untuk berpartisipasi penuh dalam perekonomian modern.
Kesenjangan dalam Akses terhadap Layanan Kesehatan
Dalam beberapa tahun terakhir, kesenjangan dalam akses layanan kesehatan di Indonesia masih menjadi tantangan signifikan, terutama di wilayah pedesaan. Data menunjukkan bahwa 65,7% penduduk lansia di Indonesia tinggal di pedesaan, tetapi akses mereka ke fasilitas kesehatan yang memadai, seperti layanan geriatri, sangat terbatas. Sebagian besar rumah sakit dengan layanan geriatri berlokasi di perkotaan, sehingga banyak lansia di pedesaan tidak mendapatkan perawatan yang sesuai. Keterbatasan jumlah puskesmas dan rumah sakit membuat layanan kesehatan tidak merata, meskipun pemerintah telah berupaya meningkatkan transformasi layanan kesehatan.
Hal ini diperparah dengan ketimpangan alokasi sumber daya medis, seperti dokter dan alat kesehatan, yang lebih terpusat di kota besar dibandingkan daerah terpencil. Meski ada program seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), akses terhadap layanan berkualitas tetap sulit dicapai oleh masyarakat di wilayah tertinggal akibat keterbatasan fasilitas dan infrastruktur.
Peningkatan Ketegangan Sosial dan Konflik
Peningkatan ketegangan sosial dan konflik akibat kesenjangan sosial telah menjadi isu yang nyata di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu contohnya adalah konflik sosial yang terkait dengan akses lahan dan sumber daya, yang kerap terjadi di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Ketimpangan ekonomi yang tinggi, di mana 1% penduduk menguasai sekitar 50% aset nasional, telah menciptakan kesenjangan yang memicu rasa tidak adil di masyarakat. Ketidaksetaraan ini seringkali menjadi penyebab konflik horizontal, seperti yang terlihat dalam berbagai kasus perselisihan agraria di wilayah-wilayah dengan pertumbuhan pembangunan pesat, seperti konflik penggusuran di Jakarta dan sekitarnya.
Survei menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menyadari tingginya tingkat ketimpangan dan mendukung langkah-langkah yang lebih kuat untuk mengatasinya. Namun, dampak langsung dari ketimpangan ini sering kali berupa peningkatan ketegangan antar kelompok sosial, terutama di wilayah dengan perbedaan akses layanan yang mencolok, seperti pendidikan dan kesehatan.Â
Hambatan terhadap Inovasi dan Produktivitas
Kesenjangan sosial di Indonesia menjadi hambatan terhadap inovasi dan produktivitas, terutama dalam konteks Revolusi Industri 4.0. Transformasi ini membawa peluang besar, tetapi juga memperluas jurang antara kelompok masyarakat. Pekerjaan tradisional yang hilang akibat otomatisasi dan digitalisasi menuntut keterampilan baru yang tidak merata diakses. Masyarakat di daerah terpencil atau berpenghasilan rendah sering kali tidak memiliki akses ke pelatihan dan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan industri modern, yang memperparah kesenjangan.
Meskipun Indonesia telah mencatat kemajuan dalam Indeks Inovasi Global, posisi negara ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Singapura dan Malaysia. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya pilar sumber daya manusia dan penelitian. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa inovasi belum dapat sepenuhnya menjadi penggerak produktivitas nasional karena tidak semua kelompok masyarakat mampu berpartisipasi secara aktif dalam ekosistem teknologi dan inovasi.
Ketimpangan ini menghambat potensi produktivitas karena talenta yang tersedia tidak optimal dimanfaatkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi, membuat Indonesia sulit bersaing dalam pasar global yang semakin kompetitif.
Keterbatasan dalam Mengatasi Krisis Lingkungan
Krisis lingkungan di Indonesia semakin memperburuk ketimpangan sosial dan menghambat pembangunan berkelanjutan. Salah satu isu yang relevan adalah kerusakan lingkungan akibat aktivitas eksploitasi sumber daya alam, seperti tambang dan proyek strategis nasional. Walhi mencatat konflik lahan dan pengelolaan sumber daya alam menjadi masalah struktural yang melibatkan penggusuran masyarakat lokal dan penghancuran lingkungan hidup. Misalnya, pada 2021, terdapat pencabutan ribuan izin usaha pertambangan, kehutanan, dan kawasan hutan, tetapi dampaknya terhadap ketimpangan lingkungan masih minim karena luas izin yang dicabut hanya sebagian kecil dari total wilayah yang dikelol.
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam transisi menuju energi terbarukan. Pada 2022, hanya 10,4% energi Indonesia berasal dari sumber terbarukan, jauh dari target 34% pada 2030. Kebijakan yang masih memberikan insentif bagi energi fosil, seperti batu bara, turut memperburuk emisi karbon yang tinggi dan memperparah krisis ikli. Ketimpangan ini memengaruhi kondisi lingkungan, dan memperdalam ketidakadilan sosial, khususnya bagi masyarakat rentan yang terkena dampak bencana ekologis, seperti banjir dan longsor.
Kesenjangan sosial tetap menjadi hambatan utama bagi pembangunan berkelanjutan di era modern karena dampaknya yang meluas pada berbagai aspek kehidupan. Ketimpangan dalam akses pendidikan dan keterampilan membatasi partisipasi masyarakat rentan dalam ekonomi berbasis pengetahuan, sementara kesenjangan layanan kesehatan mengurangi produktivitas dan memperbesar ketidaksetaraan kualitas hidup. Konflik sosial yang dipicu oleh ketimpangan semakin memperumit upaya membangun stabilitas sosial yang diperlukan untuk pembangunan inklusif. Keterbatasan akses pada inovasi dan teknologi modern akibat ketimpangan ekonomi memperlambat produktivitas nasional dan daya saing global. Kesenjangan dalam kemampuan mengatasi krisis lingkungan memperburuk dampak perubahan iklim pada kelompok masyarakat termiskin. Mengatasi kesenjangan sosial adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang adil dan berkelanjutan, di mana semua pihak memiliki peluang yang setara untuk berkontribusi dan menikmati hasil pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H