“It’s fair enough bukan?’
Mendengar ucapan itu aku semakin tak berkutik, sesekali aku mainkan cangkir teh yang aku genggam dengan kedua tanganku sambil kuarahkan pandanganku pada langit diluar sana yang nampak mulai kelabu.
Adalah suatu kebagiaan bagiku ketika Tuhan mempertemukan aku dengannya, seorang lelaki deawasa, baik dan sangat mapan serta bertanggung jawab. Dan sepertinya Tuhan menjawab do’a-do’a aku selama ini, mempertemukan aku dengan seorang lelaki yang aku impikan dengan cara yang sungguh indah bagiku.
Dia seorang donatur terbesar dalam organisasi kemanusiaan untuk para pengungsi suriah, peyandang dana yang cukup punya nama dan disegani oleh teman-temannya, sedangkan aku hanya seorang volunteer yang hanya membantu dengan hati,tenaga dan pikiran.
Dia hadir dalam hidupku lebih dari setahun yang lalu , ketika aku dan dia terlibat bekerja sama dalam misi kemanusiaan lintas negara. Sampai pada akhirnya tumbuh benih-benih cinta diantara kita, saling melengkapi satu sama lain adalah hal yang paling terindah yang pernah aku rasakan, dia penuh perhatian dan selalu sabar dalam menghadapi permasalahan.
Dan cinta ini terlanjur menggurita dan menjalar keseluruh tubuhku hingga aku tak mampu berkelit dari perasaan ini. Bathinku mulai menjerit sakit ketika kuingat ada jurang pemisah yang terbentang diantara kita. Haruskah kubunuh pelan-pelan perasaan cinta ini hanya karena beda keyakinan?
“Will you marry me?”
“Aku takut Tuhan akan murka kepadaku” jawabku pedih.
“Tuhanmu adalah Tuhanku juga karena Tuhan itu hanya satu, hanya keyakinan kita saja yang berbeda” nada suaranya mulai terdengar meninggi. Tiba-tiba saja dia memeluk tubuhku erat, sangat erat sekali.
“I love you” bisik dia ditelingaku.
Ya, Allah... hanya kata itu yang terucap dari bibirku.
Vancouver, 22 Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H