"Aku tak sepertimu yang punya banyak keahlian!" Terngiang di kepalanya keluhan Radita dalam adu mulut ringkas kemarin sore. Berbagai tanggapan dan sanggahan memenuhi isi kepalanya sepanjang perjalanan menuju pasar pagi itu.
Tiba di parkiran yang padat, ia menurunkan standar, melepas helm, serta tak lupa tersenyum tipis pada tukang parkir yang mencarikan ruang untuk roda dua usangnya.
"Omong kosong keahlian."
***
Namirah membuka kotak-kotak transparan yang ia bawa, memamerkan kue-kue buatan tangan yang ia buat semalam suntuk, berharap segera habis sebelum Dzuhur, tak seperti kemarin.
"Bismillah, Yaa Allah." Gumamnya, lalu membasuhkan kedua tangan menengadahnya ke wajah. Di sampingnya seorang wanita paruh baya mengamini. Aamiin untuk Namirah, aamiin pula untuk dirinya dan stoberi-stroberinya.
Pembeli pertama tiba, ia tersenyum sumringah. "Tiga puluh ribu, Mbak. Campur." Dengan gegas ia mengantongi 10 buah kue secara acak, lalu menyerahkan kantong plastik itu sembari menerima tiga lembar uang pecahan sepuluh ribu yang ia yakin merupakan uang kembalian dari tukang daging di belakang, amis.
Ia pun tersenyum ramah sambil menganggukkan kepalanya, "Terimakasih..." Pembeli itupun berlalu tanpa kata maupun sekedar senyum balasan untuk Namirah.
Di tengah penantiannya akan pembeli berikutnya, pikirannya kembali pada ucapan Radita. Wajahnya tak kusut, tak juga layu, hanya sedikit mengeryit di dahi. Tak lama jempol dan telunjuk kirinya berupaya menyatukan kedua alisnya ke arah dalam, memijat-mijat kedua ujungnya. Bukan soal sama sekali, hanya tak habis pikir. Hidupku bukan simsalabim.
Tak sampai jam 12 siang kotak-kotak transparan itu akhirnya kosong disapu pembeli. Kuenya memang tak tampak mewah seperti kue-kue di etalase toko. Namun dua atau tiga orang selalu kembali mencari rasa yang diramu kedua tangannya. Resep rahasianya hanya satu; mengosongkan hati dan kepalanya dari segala kekhawatiran saat berhadapan dengan tungku. Sambil menguleni adonan, ia menyalurkan satu emosi lewat tangan terampilnya, harap.
***
Menyala atau tidak lampu di terasnya ketika malam bergantung pada langkahnya hari ini. Serta satu hal; senyum serahnya kepada Pemilik Waktu. Keyakinannya, dompetnya tak akan pernah kosong selama ia masih melangkah.
Sepulang dari pasar, ia menghempaskan tulang-tulangnya yang hanya tau bergerak. "Ah... Alhamdulillah." Dua jam waktu tidur malam dan dua puluh menit waktu jeda di siang hari memang tak bisa ia sebut cukup. Namun jika ia menambah waktu tidurnya, ia akan mulai terlena, lalu merasa kurang namun enggan beranjak, kemudian kesal karena harus bergerak kembali, lalu larut dalam drama di pikirannya seputar garis hidup. Ah, sudahlah.
Dalam beberapa puluh detik, kelopak matanya segera beradu, kesadarannya meredup perlahan. Namun telinganya masih bisa mendengar suara pintu terbuka. Suara derat pintu yang beradu dengan lantai mengganggu niat hatinya untuk beristirahat, pintu sialan. Terdengar pula olehnya suara langkah kaki yang percaya diri, lalu suara retsleting jaket dan sesuatu yang dilempar di atas sofa. Satu hal yang tak didengarnya adalah suara pintu yang ditutup kembali.
Namirah tak peduli. Ia melanjutkan upayanya untuk tidur sejenak. Setelah ini, ia harus mengantar tetangganya berbelanja. Boleh disebut tukang ojek, boleh pula disebut personal assistant. Apapun sebutannya, ia tak risau. Lagi-lagi bukan soal sama sekali. Ia hanya berguling membalikkan badan, berharap segera ditelan lelap.
***
 Bangun dari tidur siangnya, Namirah melenturkan bibir dan pipinya, lalu menyingkronkannya dengan pancaran mata yang sesuai. Bismillah. Ucapnya pelan.
Tak berapa lama, senyumnya terkikis, sorot matanya meredup, ia mengatur napas begitu keluar dari kamarnya. Pandangannya menyapu ruang tamu berukuran dua kali tiga meter itu. Sampah!
Pintu terbuka lebar, jaket tergeletak di sofa, piring-piring dan gelas kotor berserak di atas meja, lengkap dengan plastik-plastik kemasan tanpa isi disana-sini. Tampak kunci motor dengan gantungan lumba-lumba berwarna biru berada di antaranya.
Namirah beranjak ke kamar Radita, membawakan jaket kulit yang seharusnya tergantung di balik pintu kamarnya. Ia menatap kesal saudara sekandungnya yang tampak pulas itu. Dadanya penuh sesak, matanya berkaca-kaca. Tak berapa lama ia menghela napas dan berlalu, ada rizki yang harus ia upayakan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H