***
Menyala atau tidak lampu di terasnya ketika malam bergantung pada langkahnya hari ini. Serta satu hal; senyum serahnya kepada Pemilik Waktu. Keyakinannya, dompetnya tak akan pernah kosong selama ia masih melangkah.
Sepulang dari pasar, ia menghempaskan tulang-tulangnya yang hanya tau bergerak. "Ah... Alhamdulillah." Dua jam waktu tidur malam dan dua puluh menit waktu jeda di siang hari memang tak bisa ia sebut cukup. Namun jika ia menambah waktu tidurnya, ia akan mulai terlena, lalu merasa kurang namun enggan beranjak, kemudian kesal karena harus bergerak kembali, lalu larut dalam drama di pikirannya seputar garis hidup. Ah, sudahlah.
Dalam beberapa puluh detik, kelopak matanya segera beradu, kesadarannya meredup perlahan. Namun telinganya masih bisa mendengar suara pintu terbuka. Suara derat pintu yang beradu dengan lantai mengganggu niat hatinya untuk beristirahat, pintu sialan. Terdengar pula olehnya suara langkah kaki yang percaya diri, lalu suara retsleting jaket dan sesuatu yang dilempar di atas sofa. Satu hal yang tak didengarnya adalah suara pintu yang ditutup kembali.
Namirah tak peduli. Ia melanjutkan upayanya untuk tidur sejenak. Setelah ini, ia harus mengantar tetangganya berbelanja. Boleh disebut tukang ojek, boleh pula disebut personal assistant. Apapun sebutannya, ia tak risau. Lagi-lagi bukan soal sama sekali. Ia hanya berguling membalikkan badan, berharap segera ditelan lelap.
***
 Bangun dari tidur siangnya, Namirah melenturkan bibir dan pipinya, lalu menyingkronkannya dengan pancaran mata yang sesuai. Bismillah. Ucapnya pelan.
Tak berapa lama, senyumnya terkikis, sorot matanya meredup, ia mengatur napas begitu keluar dari kamarnya. Pandangannya menyapu ruang tamu berukuran dua kali tiga meter itu. Sampah!
Pintu terbuka lebar, jaket tergeletak di sofa, piring-piring dan gelas kotor berserak di atas meja, lengkap dengan plastik-plastik kemasan tanpa isi disana-sini. Tampak kunci motor dengan gantungan lumba-lumba berwarna biru berada di antaranya.
Namirah beranjak ke kamar Radita, membawakan jaket kulit yang seharusnya tergantung di balik pintu kamarnya. Ia menatap kesal saudara sekandungnya yang tampak pulas itu. Dadanya penuh sesak, matanya berkaca-kaca. Tak berapa lama ia menghela napas dan berlalu, ada rizki yang harus ia upayakan.
***