Semasa kanak-kanak, saya berani bilang kalau saya cukup fashionable, hehe. Setidaknya di lingkungan pengajian kala itu. Pakaian muslim yang saya kenakan tak pernah ketinggalan zaman, sebab saya punya designer pribadi yang senantiasa mengikuti tren dan menjadikan saya model yang percaya diri mengenakan karya-karyanya.
Meski sudah tak ada di lemari, saya masih ingat dengan pakaian-pakaian tersebut.
Mulai dari setelan pink mencolok dengan bawahan celana cutbray, setelan formal nan elegan dengan motif kotak-kotak dengan warna oranye redup yang disertai hiasan tambahan di bagian dada, dengan bawahan rok, atau dress terusan bercorak batik yang casual dengan paduan warna merah dan coklat, serta pale dan hijau, atasan dengan pattern padat bertangan balon, tak ketinggalan juga rok seragam sekolah.
Dulu rasanya keren sekali memakai pakaian seragam, tetapi berbeda dari yang lainnya. Pembedanya biasanya dari pilihan bahan, serta bagian ikat pinggang yang dibuat dengan berbagai macam model. Ada yang tebal dengan ujung yang rucing di bagian bawah serupa dasi, ada pula yang ditambahi kancing, tujuannya sederhana, agar tampak lebih menarik dan berbeda.
Terbiasanya melihat beliau menggunting pola, bereksperimen dengan kain, menvisualkan pakaian impian dalam benak menjadi realita, menjadikan saya juga ikut-ikutan bermain dengan kain dan gunting.
Kalau Ibu mendesain pakaian untuk putrinya, putrinya  justru menjadi produsen pakaian utama bagi boneka Barbie-nya. Dengan jahitan tangan yang berantakan, kala itu putrinya senang bisa membuat pilihan fesyen Barbie menjadi lebih beragam.
Berawal dari fesyen Barbie, imajinasi saya mulai beralih pada pakaian yang biasa saya kenakan sendiri. Mulanya saya ceritakan pakaian yang saya inginkan kepada Ibu, lalu memilih kain sendiri, kemudian soal eksekusi, itu tugas Ibu. Mewujudkan pakaian impaian sang putri.
Dulu bahkan tak terpikir kalau hal ini bisa disebut hobi atau ketertarikan, apalagi peluang usaha. Sekedar rasa senang saja. Senang karena bisa menjadi lebih ekspresif, serta senang karena interaksi dengan orang yang dikasihi.
Lama-kelamaan mulailah belajar membuat pola, lagi-lagi tak terpikirkan soal ketertarikan, karena memang sudah menjadi keseharian, rasanya hanya sekedar rutinitas yang berkembang saja.
Beranjak SMA, ide menjahit mulai bertambah. Bosan dengan pakaian, kain perca pun menjadi totebag.
Hingga pada akhirnya, mesin jahit tua itu, kini saya yang menggunakan. Sesekali untuk memenuhi kebutuhan sandang pribadi, sesekali untuk mencari rupiah.
Kalau dipikir kembali, pada zaman sekolah dulu, kata menjahit tidak pernah sekalipun tertulis dalam lembar biodata yang disebarkan kawan-kawan di kelas, selalu saja menyanyi dan menggambar. Makanya judul di atas pun adalah hobi yang tertular tanpa sadar.
Terkadang menyebut menjahit sebagai hobi pun masih terasa canggung, karena rasanya ya.. begitu saja. Senang, tapi biasa. Kebiasaan. Rutinitas. Keseharian. Tak tampak istimewa tapi senang saja dilakukan. Mungkin demikian.
Namun, mau disebut hobi atau pun sekedar rutinitas, menjahit adalah hal menular yang menjadi berkah bagi saya, hal menular yang terasa take it for granted, boleh juga dibilang privilege-nya anak penjahit. Hal menular yang bisa saya manfaatkan sebagai bekal dalam perjalanan.
Demikian cerita tentang hobi yang menular.
salam hangat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H