Tajuk mengenai korupsi di media barangkali adalah biasa, bukan hal baru dan sering terjadi, meskipun begitu tajuk ini tak pernah gagal membuat gerah masyarakat. Alasannya bisa jadi karena sikap setuju masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang didasari keyakinan demi-kebaikan-bersama, dijawab dengan kecurangan oleh oknum. Bukan hanya dalam bentuk pajak yang dititipkan untuk tujuan pembangunan, tetapi juga dalam bentuk kewenangannya sendiri.
Berdasarkan kajian Indonesia Corruption Watch, kerugian negara akibat korupsi sepanjang tahun 2020 saja mencapai 56,7 triliun, naik hingga 4 kali lipat dari tahun sebelumnya, dengan terdakwa lebih dari seribu orang.
Mendengar jumlah angka yang sedemikian besar, hal yang terlintas dalam pemikiran awam bisa jadi seperti ini, kalau menghitung pajak peorangan saja, memangnya dalam setahun bisa sampai segitu? Kalau dibagi besaran pajaknya jadi berapa orang, ya?
Lalu masih dalam pemikiran awam muncul opsi-opsi seperti, mensubsidi penduduk miskin yang persentasenya 10,14% dari populasi sepertinya akan lebih bermanfaat, katakanlah penyalurannya untuk modal usaha yang disertai pendampingan, atau penambahan infrastruktur kesehatan di wilayah-wilayah yang akses terhadap fasilitas kesehatannya masih rendah, atau juga untuk peningkatan infrastruktur digital bagi pendidikan serta di daerah-daerah terluar nusantara, mengingat era industri 4.0 yang semakin menggema disana-sini.
Kembali kepada pertanyaan utama, dalam percakapan singkat kita seolah seirama mengutuk korupsi bersama, yakin bahwa korupsi adalah salah, dan sepakat bahwa sebaiknya dana tersebut dialokasikan untuk kepentingan umum dengan amanah, tapi benarkah demikian? Ada dua pertanyaan yang perlu kita ajukan terhadap diri kita sendiri sebagai berikut.
- Sudahkah kita memilih representasi yang sesuai dengan harapan kita?
- Akankah kita lengah dan bertoleransi terhadap suap dan korupsi ketika dihadapkan dengan 'keputusasaan'?
Dua contoh yang cukup dekat dengan masyarakat untuk menjawab pertanyaan tersebut di antaranya adalah politik uang dalam pemilu dan 'ongkos administrasi' masuk kerja.
Kedua hal ini adalah dua hal yang seolah lumrah dalam kehidupan masyarakat serta ditutupi bersama dengan kompak. Asumsinya mungkin begini, selama semua sepakat, apapun sah-sah saja.
1. Politik Uang dalam Pemilu
Bagi sebagian orang, pemilu mungkin hanya soal pergantian pejabat publik saja, tak terlalu penting, jabatan memang harus diisi seseorang, bagi sebagian yang lain pemilu berarti harapan, lewat janji-janji yang dirangkai dalam visi dan misi, pose gagah mengepalkan tangan menjadi simbol harapan dan perubahan. Dan untuk beberapa yang lain, pemilu bisa jadi ladang rejeki.
Berbagai macam pendekatan dilakukan demi memenangkan suara rakyat. Ada yang mendekati petani, ada yang memikat ibu-ibu, ada juga yang memilih pendekatan pada pemuda, yang lainnya memanfaatkan kesulitan ekonomi sang pemilik daulat.
Pernah dengar istilah serangan fajar? Rasa-rasanya istilah ini bukanlah istilah asing, terutama menjelang pemilu.