Kedua tema dalam kedua novel tersebut ialah kehilangan. Terbukti dalam novel Cinta dalam Ikhlas terdapat kata berikut, "Beberapa tahun setelah kejadian ini akhirnya aku menyadari, betapa beratnya kehilangan seorang bapak. Sesuatu yang juga sangat memberatkan Mama yang harus rela ditinggal belahan jiwanya pada usia masih tergolong muda, 38 tahun. Sekarang beliaulah yang harus berperan  sebagai kepala keluarga, dibantu oleh kakak-kakakku yang belum ada seorangpun yang lulus sekolah. Mereka pada usianya yang masih sangat muda harus ikut merasakan tanggung jawab untuk membantu Mama." (Abay, 2017: 4).
Sedangkan dalam novel Selamat Tinggal mencoba untuk melepaskan orang yang dikasihinya untuk orang lain, "Tapi mau dikata apa, Mawar telah menemukan pemuda yang lebih keren. Maka Sintong yang walaupun mungkin masih keren, tidak lagi terlihat keren. Surat-surat itu tidak lucu dan menggemaskan lagi. Mawar Terang Bintang menemukan sosok yang lebih menggemaskan. Dan persis saat Sintong melihat Mawar mencubit lengan pemuda berseragam itu, tertawa gelak dalam percakapan berdua, Sintong tahu, kisah cinta telah tamat." (Liye, 2020: 45).
2. LatarÂ
a. Tempat
Persamaan antara keduanya yakni berlatar belakang anak kampus. Terletak pada penyampaian penulis Cinta dalam Ikhlas yakni "Selesai dari Masjid Pusbai, aku langsung menuju kampus, ada perkuliahan hari ini pukul 14.00" (Abay, 2017: 264).
Sedangkan penulis Selamat Tinggal memaparkan secara rinci seperti pada kata berikut, "Hanya kipas angin tua di dinding, yang berderit berisik setiap dinyalakan di siang terik -- Sintong sering kali khawatir kipas itu terjatuh. Tapi dia lebih suka siang terik yang panaas dengan suara derit kipas itu, dibandingkan hujan, ketika tempias air menyebrang masuk ke toko, membuat repot, otomatis membuat sepi dagangannya. Toko buku itu bernama Berkah, terletak di dekat stasiun KRL, berjejer bersama delapan toko buku lainnya. Bangunannya sederhana, dengan luas dua puluh meter persegi, dibiarkan begitu, lebar muka empat meter, dindingnya batu bata merah, dibiarkan begitu saja, lantainya dilapisi acian semen, dengan atap asbes. Bukan semata stasiun KRL-nya yang membuat ramai, melainkan kampusnya. Ada sebuah kampus besar persis di dekat stasiun. Menyebrangi rel, di gang kecil, kalian tiba di pintu alternatif memasuki pagar kampus." (Liye, 2020: 7-8).
b. Waktu
Dalam novel biasanya memiliki waktu yang kompleks mulai dari pagi hingga malam. Namun, peneliti memasukkan waktu pagi saja. Contohnya tercatat dalam Cinta dalam Ikhlas, "Pagi sekali kami sudah berada di sekolah, mempersiapkan mental kami dengan baik. Hanya lima band terbaik yang akan tampil." (Abay, 2017: 67).
Sedangkan dalam Selamat Tinggal memaparkan seperti makna mengisyaratkan pagi walaupun tidak mengatakannya secara langsung, buktinya dalam pernyataan berikut ini, "Bus kampus yang hilir mudik membawa mahasiswa menuju fakultas masing-masing jalan di kaca. Jam delapan, jadwal kuliah pertama. Sintong juga berangkat ke kampus pagi ini, tapi dia tidak menuju ruang kuliah, melainkan Gedung Dekanat." (Tinggal, 2020: 16).
c. Suasana
Kebahagiaan dan ketertarikan dalam menjalani hubungan dengan wanita yang menggunakan surat. "Aku kembali ke Bandung dengan perasaan bahagia. Rida dari Mama adalah segalanya bagiku. Aku sampaikan juga kepada Mama bahwa ada seorang wanita shalihah dan baik yang mengajakku untuk bertaaruf." (Abay, 2017: 278)