Mohon tunggu...
Dewi Rayyan
Dewi Rayyan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta

Seseorang yang sangat termotivasi untuk mengembangkan kemampuan dan skil secara profesional. Menyukai hal-hal baru terutama dalam konteks sosial. Love music a lot.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kembalinya Amerika Serikat ke dalam Paris Agreement

9 Oktober 2022   23:00 Diperbarui: 9 Oktober 2022   23:10 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presient Amerika Serikat pada periode sebelumnya, Donald Trump, mengumumkan bahwa Amerika Seikat akan menghentikan semua partisipasi alam Perjanjian Paris 2015 tentang mitigasi perubahan iklim pada tanggal 1 Juni 2017. Trump menyatakan bahwa ikutnya Amerika dalam Kesepakatan Paris akan merusak ekonomi Amerika dan menempatkan AS pada kerugian permanen. Trump sebelumnya telah berjanji untuk menarik AS dari perjanjian tersebut selama kampanye kepresidenan, dengan pernyataan bahwa hal ini dilakukan untuk membantu bisnis-bisnis dan pekerja di Amerika. Dengan kebijakan dan arah Anerica First yang dimiliki Trump, tentu ia menilai hal ini sangat pantas dilakukan.

  • Kepentingan Ekonomi

Amerika mundur dari kesepakatan paris karena beberapa faktor,termasuk disini faktor internal dimana Amerika sedang berusaha menaikkan kembali industri batu baranya.Menurut Trump Paris Agreement melemahkan perekonomian Amerika Serikat dikarenakan pembatasan energi yang diberlakukan Paris Agreement akan mengakibatkan hilangnya tenaga kerja sebanyak 2,7 juta pada tahun 2025,termasuk sedikitnya 440.000 pekerjaan di bidang manufaktur,selain itu pada tahun 2040 sesuai dengan komitmen yang diberlakukan oleh pemerintahan sebelumnya akan memotong produksi di beberapa sekto sebagai berikut: kertas 12%,Besi dan Baja 38%,Semen 23%,Batu Bara 86%,gas alam 31%,biaya perekonomian tahun 2017 mendekati kehilangan 3 triliun dollar GDP dan 6,5 juta tenaga kerja di bidang industri,serta alay rumah tangga akan mendapatkan penghasilan kurang dari 7,000 Dollar,Data ini berdasarkan pada hasil penelitan NERA(National Economic Research Associates)

Amerika Serikat yang mengalami penurunan dinamika di industri batu bara merupakan faktor besar dalam pertimbangan Trump untuk kepentingan ekonomi Amerika. Penurunan konsumsi batu bara yang diterapkan pada masa pemerintahan Barrack Obama telah melemahkan industri batu bara AS yang melemahkan industri batu bara Amerika. Trump menambahkan bahwa hal ini akan membendung pekerja AS, melemahkan ekonomi AS, dan secara efektif menghentikan industri batu bara AS. Trump juga tidak menyukai sistem Green Climate Fund, yang menurutnya merupakan suatu cara untuk mendistribusikan kekayaan dari negara-negara kaya ke negara-negara miskin.

Grafik Ekspor Batubara AS tahun 2001-2017

Mundurnya AS sendiri merupakan pilihan Donald Trump dengan berdasarkan data yang telah dikumpulkan oleh presiden.Beberapa argumen utama dari presiden Donald Trump adalah hilangnya pekerjaan, peningkatan suhu yang kecil sekali, dampak negatif untuk ekonomi AS, serta berjuta-juta dolar yang terbuang percuma.

Kepentingan ekonomi Amerika merupakan prioritas utama bagi Donald Trump. Trump tidak memandang isu perubahan iklim dan lingkungan merupakan sebuah isu penting yang membutuhkan perhatian khusus. Ia lebih mempercayai bahwa isu perubahan iklim adalah daya tipu China untuk mengganggu daya asing AS. Presiden Donald Trump skeptis terhadap perubahan iklim, dan Donald Trump menolak untuk mengakui prinsip dasar umum berupa tanggung jawab yang dibedakan dalam kerjasama iklim global. Donald Trump juga tidak pernah secara terbuka mengakui bahwa perubahan iklim terjadi dan disebabkan oleh manusia, sekalipun ini adalah konsensus oleh sebagian besar ilmuwan di AS.

 

Selain dasar kepentingan ekonomi, Trump mengatakan Paris Agreement melemahkan kedaulatan karena ia tidak ingin suatu birokrasi asing mengatur apa yang harus dilakukan Amerika terhadap apa yang mereka miliki di negara mereka sendiri. Banyaknya politisi partai republik Amerika Serikat termasuk Donald Trump yang skeptik bahwa kegiatan manusia menyebabkan terjadinya climate change atau global warming, mereka menolak dengan berbagai alasan. Partai republik tidak percaya perubahan iklim adalah masalah serius.Mereka menyangkal bahwa manusia menyebabkan planet menjadi hangat dan mengatakan bahwa gagasan itu adalah tipuan liberal.

Dua puluh dua senator partai republik termasuk pimpinan mayoritas kongres Mitch McConnel (R-Ky), mengatakan kepada presiden untuk keluar dari perjanjian paris, mereka mengatakan perjanjian paris hanya akan menambah beban pemerintah. mereka berargumen bahwa grup enviromenetalis dapat menggunakan kesepakatan Paris sebagai "pembelaan hukum" dalam tuntutan hukum untuk menyerukan peraturan yang lebih ketat seperti Clean Power Plan, aturan iklim utama dari pemerintahan Obama. Ke dua puluh senator juga menolak argumen dari para pendukung kesepakatan, yang mengatakan meninggalkan Paris akan mempengaruhi kemampuan AS untuk mempengaruhi perjanjian iklim di masa depan.

Senator dari partai Demokrat berkelompok dan mengirim sebuah surat kepada Presiden Donald Trump, mendesak Presiden untuk mempertahankan Amerika dalam Perjanjian Paris,dengan mengatakan bahwa penarikan AS dari Kesepakatan Paris akan mengurangi kredibilitas dan pengaruh Amerika di panggung dunia. Desakan pihak konservatif di AS memiliki andil besar pada pemutusan kebijakan untuk mundur dari Kesepakatan Paris.Tercatat dalam data oleh Pew Research Center, pebisnis konservatif dan konservatif yang teguh tidak menganggap pemanasan global sebagai masalah yang utama.

  • Dampak Dari Keluarnya Amerika Serikat (AS) Dari Paris Agreement 

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan dalam pidatonya bahwa Paman Sam akan menarik diri dari Perjanjian Paris. Keputusan tersebut tentu memiliki konsekuensi ditinjau dari aspek lingkungan maupun aspek politik. Hampir seluruh pemimpin dunia langsung merespon keputusan Trump tersebut dengan kecaman. Para pengamat memperkirakan mundurnya AS akan membuat dunia semakin sulit untuk mencapai tujuan yang ditentukan Kesepakatan Paris dalam upaya penurunan emisi dan pengendalian perubahan iklim. Indonesia, sebagai salah satu negara kepulauan terbesar, dengan garis pantai dan wilayah pesisir yang luas dan dihuni cukup banyak penduduk, merupakan salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Setiap perkembangan yang terjadi atas upaya global menghadapi perubahan iklim harus menjadi perhatian Indonesia, termasuk keputusan yang baru saja diambil Trump tersebut.

Penarikan diri AS dari kesepakatan tersebut memiliki dua konsekuensi. Pertama, hal tersebut akan menghilangkan peluang AS untuk menjadi global climate change leader sebagai sarana soft power diplomacy. Masyarakat internasional akan kehilangan kepercayaan terhadap AS dalam isu-isu lingkungan hidup. Kedua, keberadaan koalisi "We Are Still In" memberikan harapan bagi  negara-negara di dunia bahwa AS melalui koalisi tersebut masih berupaya untuk memenuhi komitmen dalam Persetujuan Paris tanpa terikat pada keputusan pemerintah pusat. Koalisi pro-Paris Agreement di AS kemudian berpeluang menjadi aktor kunci dalam upaya pengendalian perubahan iklim melalui empat pilar aksi yaitu dekarbonisasienergi, pembangunan infrastruktur berkelanjutan, mengurangi limbah, dan meningkatkan efisiensi transportasi.

AS merupakan negara penyumbang sekitar 15 persen emisi karbon global, terbesar kedua setelah China. Mundurnya AS akan membuat dunia semakin sulit untuk menjaga kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat Celcius sebagaimana yang diupayakan Kesepakatan Paris. Organisasi Meteorologi Dunia WMO menyatakan mundurnya AS dari kesepakatan ini akan menaikkan suhu global 0,3 derajat Celcius sampai akhir abad ini. Di sisi lain, AS jugamerupakan sumber keuangan dan teknologi yang penting bagi negara-negara berkembang dalam upaya mengatasi peningkatan temperatur global. Sebagian pihak tetap optimis terhadap perkembangan ini. Penurunan emisi karbon AS diyakini akan tetap menurun, sampai setengah seperti yang direncanakan Presiden Obama. Perkiraan ini didasarkan pada tingginya penggunaan gas sebagai sumber energi dibanding batu bara, yang didukung perkembangan teknologi pengeboran yang memungkinkan penurunan harga gas alam.

Menyesalkan dan mengecam keputusan Trump, publik AS terutama aktivis lingkungan hidup tetap menjaga komitmen mereka terhadap Kesepakatan Paris. Al Gore (mantan Wakil Presiden AS) misalnya, meminta komunitas internasional untuk tidak khawatir terhadap posisi Trump yang terkesan abai terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Menurut Al Gore, AS akan tetap melanjutkan aksi mengurangi emisi, terlebih dengan adanya negara-negara bagian di AS yang masih terus berkomitmen dengan kebijakan prolingkungan, tidak terkecuali pengusaha dan konsumen. Para pemimpin perusahaan besar seperti Google, Apple, dan ratusan perusahaan lain termasuk perusahaan minyak ExxonMobil, juga mendesak Presiden Trump untuk tetap bergabung dalam Kesepakatan Paris. Konsumen di AS juga mulai lebih menyukai penggunaan sumber-sumber energi terbarukan.

Berbeda dengan AS, sikap China, India, dan Uni Eropa justru memperkuat komitmennya terhadap Kesepakatan Paris. PM China Li Keqiang menyampaikan janjinya untuk tetap mengimplementasikan Kesepakatan Paris. Pemimpin UniEropa dan China akan mendukung penuh penerapan semua aspek Kesepakatan Paris, terlepas dari partisipasi AS. Presiden Perancis dan Perdana Menteri India, beberapa harisetelah pengumuman Trump menyatakan bahwa negara mereka akan bekerja sama dalam memerangi perubahan iklim. Kedua negara akan mengadakan pertemuan tingkat tinggi pertama Aliansi Solar Internasional. Aliansi ini merupakan prakarsa kedua negara yang akan memimpin Langkah-langkah mendukung pemanfaatan energi sinar matahari danmendorong perusahaan-perusahaan kedua negara berpartisipasi. Aliansi tersebut berusaha memobilisasi dana lebih dari satu triliun dolar pada tahun 2030 dan mengikutsertakan lebih dari 100 negara yang kaya sinar matahari untuk mendayagunakan energi sinar matahari kesejumlah negara paling miskin di dunia. Sebagai negara penyumbang emisi terbesar ketiga dunia, PM India berjanjiakan terus mendukung perjanjian itu. Perubahan sikap AS tampaknya tidak mempengaruhi komitmen tiga pihak lainnya, yaitu China, India, dan Uni Eropa yang merupakan penghasilemisi karbon terbesar dunia.

Keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement memberikan ketidakpastian terhadap pencapaian target kenaikan temperatur global. Berkurangnya dukungan pendanaan AS untuk sejumlah inisiatif global atau multilateral yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pengembangan energi bersih dapat mengganggu arus pendanaan iklim yang dimaksudkan untuk mendukung proyek-proyek adaptasi danmitigasi di negara-negara berkembang. Sebelumnya, Obama menjanjikan $3 miliar dari total target $10 miliar untuk Global Climate Fund (GCF). AS sudah mengucurkan sebesar $1 miliar sampai dengan 2016. Sesuai kesepakatan Paris, negara-negara maju berjanji untuk mobilisasi pendanaan iklim hingga mencapai $ 100 milyar pada 2020-2025.Tanpa kontribusi AS, mobilisasi pendanaan iklim akan menghadapitantangan yang cukup serius. Kerjasama internasional seperti Clean Energy Ministerial (CEM) yang dapat mendorong inovasi teknologi dan kebijakan untuk  mendorong pengembangan energi bersih dapat melambat.Kerjasama bilateral antara AS dengan sejumlah negara berkembang untuk mendorong transisi pembangunan rendah karbon secara lebih cepat dapat terhenti, jika tidak ada upaya dari negaralain untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan dari  keluarnya AS atas Paris Agreement.

  • Kembalinya AS dalam Paris Agreement 

Amerika Serikat kembali dalam Paris Agreement di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden pada tanggal 19 Februari 2021, setelah 4 tahun lalu menarik diri dari pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump. AS sebagai negara dengan penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar kedua di dunia ini kembali mendukung AS berkomitmen dalam Paris Agreement. Kesepakatan internasional ini tentunya membantu pemerintah-pemerintah negara lain untuk secara bersama mewujudkan Paris Agreement. Masuk kembalinya AS akan membantu memobilisasi dan membangkitkan kembali kemauan politik di antara para pemimpin global, bisnis, dan masyarakat sipil untuk melaksanakan kesepakatan dengan lebih cepat.

Sepanjang dekade terakhir, terdapat 4 negara penghasil emisi terbesar, yaitu Cina, AS, Uni Eropa (termasuk Inggris), dan India. Keempat wilayah ini berkontribusi sekitar hampir 55% emisi global. AS sendiri berada pada posisi kedua, setelah Cina, dengan menghasilkan emisi lebih dari 6 GtCO2e pada tahun 2019. Kembalinya AS pada Perjanjian Paris tentunya akan memperkuat upaya untuk menahan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius.

 

Target 2030

Setelah kembali memasuki kesepakan Paris, Wshington menetapkan target emisis AS untuk tahun 2030. Penandatanganan perjanjian Paris dilakukan untuk mengerahkan rencana terbaru untuk mengurangi emisi dan beradaptasi dengan cuaca ekstrem yang memburuk dan naiknya permukaan air pada akhir 2020. Biden berencana untuk mengatur AS dalam jalur menuju emisi nol-bersih pada tahun 2050, sesuatu yang kini sudah dijanjikan banyak negara ekonomi maju untuk dilakukan.

Pemerintahannya akan menyerukan investasi bersejarah dalam inovasi energi bersih dan penelitian perubahan iklim, dan memperluas keberhasilan masa lalu Amerika Serikat dalam mengurangi emisi. Presiden Biden berjanji pemerintahnya akan mengusahakan perubahan infrastruktur Amerika menjadi lebih ramah lingkungan, mulai dari pembangunan jaringan electric vehicles charging stations EVCS, atau stasiun pengisian daya kendaraan listrik, sampai transformasi rumah-rumah tinggal dan gedung-gedung kantor menjadi lebih efisien energi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun