Mohon tunggu...
Dewi Rayyan
Dewi Rayyan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta

Seseorang yang sangat termotivasi untuk mengembangkan kemampuan dan skil secara profesional. Menyukai hal-hal baru terutama dalam konteks sosial. Love music a lot.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kembalinya Amerika Serikat ke dalam Paris Agreement

9 Oktober 2022   23:00 Diperbarui: 9 Oktober 2022   23:10 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penarikan diri AS dari kesepakatan tersebut memiliki dua konsekuensi. Pertama, hal tersebut akan menghilangkan peluang AS untuk menjadi global climate change leader sebagai sarana soft power diplomacy. Masyarakat internasional akan kehilangan kepercayaan terhadap AS dalam isu-isu lingkungan hidup. Kedua, keberadaan koalisi "We Are Still In" memberikan harapan bagi  negara-negara di dunia bahwa AS melalui koalisi tersebut masih berupaya untuk memenuhi komitmen dalam Persetujuan Paris tanpa terikat pada keputusan pemerintah pusat. Koalisi pro-Paris Agreement di AS kemudian berpeluang menjadi aktor kunci dalam upaya pengendalian perubahan iklim melalui empat pilar aksi yaitu dekarbonisasienergi, pembangunan infrastruktur berkelanjutan, mengurangi limbah, dan meningkatkan efisiensi transportasi.

AS merupakan negara penyumbang sekitar 15 persen emisi karbon global, terbesar kedua setelah China. Mundurnya AS akan membuat dunia semakin sulit untuk menjaga kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat Celcius sebagaimana yang diupayakan Kesepakatan Paris. Organisasi Meteorologi Dunia WMO menyatakan mundurnya AS dari kesepakatan ini akan menaikkan suhu global 0,3 derajat Celcius sampai akhir abad ini. Di sisi lain, AS jugamerupakan sumber keuangan dan teknologi yang penting bagi negara-negara berkembang dalam upaya mengatasi peningkatan temperatur global. Sebagian pihak tetap optimis terhadap perkembangan ini. Penurunan emisi karbon AS diyakini akan tetap menurun, sampai setengah seperti yang direncanakan Presiden Obama. Perkiraan ini didasarkan pada tingginya penggunaan gas sebagai sumber energi dibanding batu bara, yang didukung perkembangan teknologi pengeboran yang memungkinkan penurunan harga gas alam.

Menyesalkan dan mengecam keputusan Trump, publik AS terutama aktivis lingkungan hidup tetap menjaga komitmen mereka terhadap Kesepakatan Paris. Al Gore (mantan Wakil Presiden AS) misalnya, meminta komunitas internasional untuk tidak khawatir terhadap posisi Trump yang terkesan abai terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Menurut Al Gore, AS akan tetap melanjutkan aksi mengurangi emisi, terlebih dengan adanya negara-negara bagian di AS yang masih terus berkomitmen dengan kebijakan prolingkungan, tidak terkecuali pengusaha dan konsumen. Para pemimpin perusahaan besar seperti Google, Apple, dan ratusan perusahaan lain termasuk perusahaan minyak ExxonMobil, juga mendesak Presiden Trump untuk tetap bergabung dalam Kesepakatan Paris. Konsumen di AS juga mulai lebih menyukai penggunaan sumber-sumber energi terbarukan.

Berbeda dengan AS, sikap China, India, dan Uni Eropa justru memperkuat komitmennya terhadap Kesepakatan Paris. PM China Li Keqiang menyampaikan janjinya untuk tetap mengimplementasikan Kesepakatan Paris. Pemimpin UniEropa dan China akan mendukung penuh penerapan semua aspek Kesepakatan Paris, terlepas dari partisipasi AS. Presiden Perancis dan Perdana Menteri India, beberapa harisetelah pengumuman Trump menyatakan bahwa negara mereka akan bekerja sama dalam memerangi perubahan iklim. Kedua negara akan mengadakan pertemuan tingkat tinggi pertama Aliansi Solar Internasional. Aliansi ini merupakan prakarsa kedua negara yang akan memimpin Langkah-langkah mendukung pemanfaatan energi sinar matahari danmendorong perusahaan-perusahaan kedua negara berpartisipasi. Aliansi tersebut berusaha memobilisasi dana lebih dari satu triliun dolar pada tahun 2030 dan mengikutsertakan lebih dari 100 negara yang kaya sinar matahari untuk mendayagunakan energi sinar matahari kesejumlah negara paling miskin di dunia. Sebagai negara penyumbang emisi terbesar ketiga dunia, PM India berjanjiakan terus mendukung perjanjian itu. Perubahan sikap AS tampaknya tidak mempengaruhi komitmen tiga pihak lainnya, yaitu China, India, dan Uni Eropa yang merupakan penghasilemisi karbon terbesar dunia.

Keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement memberikan ketidakpastian terhadap pencapaian target kenaikan temperatur global. Berkurangnya dukungan pendanaan AS untuk sejumlah inisiatif global atau multilateral yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pengembangan energi bersih dapat mengganggu arus pendanaan iklim yang dimaksudkan untuk mendukung proyek-proyek adaptasi danmitigasi di negara-negara berkembang. Sebelumnya, Obama menjanjikan $3 miliar dari total target $10 miliar untuk Global Climate Fund (GCF). AS sudah mengucurkan sebesar $1 miliar sampai dengan 2016. Sesuai kesepakatan Paris, negara-negara maju berjanji untuk mobilisasi pendanaan iklim hingga mencapai $ 100 milyar pada 2020-2025.Tanpa kontribusi AS, mobilisasi pendanaan iklim akan menghadapitantangan yang cukup serius. Kerjasama internasional seperti Clean Energy Ministerial (CEM) yang dapat mendorong inovasi teknologi dan kebijakan untuk  mendorong pengembangan energi bersih dapat melambat.Kerjasama bilateral antara AS dengan sejumlah negara berkembang untuk mendorong transisi pembangunan rendah karbon secara lebih cepat dapat terhenti, jika tidak ada upaya dari negaralain untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan dari  keluarnya AS atas Paris Agreement.

  • Kembalinya AS dalam Paris Agreement 

Amerika Serikat kembali dalam Paris Agreement di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden pada tanggal 19 Februari 2021, setelah 4 tahun lalu menarik diri dari pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump. AS sebagai negara dengan penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar kedua di dunia ini kembali mendukung AS berkomitmen dalam Paris Agreement. Kesepakatan internasional ini tentunya membantu pemerintah-pemerintah negara lain untuk secara bersama mewujudkan Paris Agreement. Masuk kembalinya AS akan membantu memobilisasi dan membangkitkan kembali kemauan politik di antara para pemimpin global, bisnis, dan masyarakat sipil untuk melaksanakan kesepakatan dengan lebih cepat.

Sepanjang dekade terakhir, terdapat 4 negara penghasil emisi terbesar, yaitu Cina, AS, Uni Eropa (termasuk Inggris), dan India. Keempat wilayah ini berkontribusi sekitar hampir 55% emisi global. AS sendiri berada pada posisi kedua, setelah Cina, dengan menghasilkan emisi lebih dari 6 GtCO2e pada tahun 2019. Kembalinya AS pada Perjanjian Paris tentunya akan memperkuat upaya untuk menahan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius.

 

Target 2030

Setelah kembali memasuki kesepakan Paris, Wshington menetapkan target emisis AS untuk tahun 2030. Penandatanganan perjanjian Paris dilakukan untuk mengerahkan rencana terbaru untuk mengurangi emisi dan beradaptasi dengan cuaca ekstrem yang memburuk dan naiknya permukaan air pada akhir 2020. Biden berencana untuk mengatur AS dalam jalur menuju emisi nol-bersih pada tahun 2050, sesuatu yang kini sudah dijanjikan banyak negara ekonomi maju untuk dilakukan.

Pemerintahannya akan menyerukan investasi bersejarah dalam inovasi energi bersih dan penelitian perubahan iklim, dan memperluas keberhasilan masa lalu Amerika Serikat dalam mengurangi emisi. Presiden Biden berjanji pemerintahnya akan mengusahakan perubahan infrastruktur Amerika menjadi lebih ramah lingkungan, mulai dari pembangunan jaringan electric vehicles charging stations EVCS, atau stasiun pengisian daya kendaraan listrik, sampai transformasi rumah-rumah tinggal dan gedung-gedung kantor menjadi lebih efisien energi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun