Ketika saya duduk dibangku kuliah, dosen Bahasa Arab saya menyampaikan, bahwa menulis itu sama dengan dua kali membaca. Jadi, menulis menjadikan memori dalam otak kita bekerja lebih banyak sehingga mampu menampung informasi lebih lama.Â
Pada kenyataannya, saat kita mempelajari sebuah materi dimulai dari membaca lalu menuliskan kembali apa yang telah dibaca, kemungkinan besar pada hari-hari setelahnya kita masih mengingat dengan jelas apa yang sudah kita pelajari.
Di zaman yang serba dimudahkan ini, kadang sebagian besar dari kita berpikir, buat apa sih menulis? Ribet ah, enakan juga membaca sama menonton. Eits, simak dulu beberapa keuntungan dari menulis. Setidaknya ada beberapa poin penting alasan mengapa kita harus menulis:
- Menulis itu mengikat ilmu.
Imam Syafi'i mengatakan, "Ikatlah ilmu dengan menulis." Dan kita juga kerap mendengar bahwa ilmu itu ibarat binatang buruan, ketika sudah dapat maka ikatlah agar binatang buruan itu tidak lari.Â
Sewaktu masih SD saya sama sekali belum paham dengan istilah-istilah itu, lalu ketika sudah dewasa barulah paham arti sesungguhnya dari "ikatlah ilmu dengan menulis".
Biasanya saat kita sudah dewasa baru merasakan akibatnya jika dulu tidak pernah menulis pelajaran yang kita dapatkan. Misalnya saat seseorang atau anak kita bertanya tentang suatu hal, lalu kita tidak bisa menjelaskan secara sempurna karena kita sendiri sudah lupa.Â
Kita hanya mengingat pernah mempelajari hal itu namun tidak benar-benar memahaminya. Lain halnya saat kita menuliskannya kita akan cenderung membaca kembali tulisan kita sehingga paham dengan apa yang telah dipelajari.Â
Maka dari itu, menulis menjadikan kita mudah mengingat selagi kita mau membaca ulang apa yang kita tuliskan. Sehingga ilmu yang telah kita dapat bisa benar-benar melekat. Semoga ya..
2. Menuangkan ide-ide dan pemikiran yang melintas dikepala sehingga tidak mengendap terlalu lama atau bahkan malah hilang seketika.Â
Kadang tanpa sadar bahwa menulis membuat kita merasa lega. Penulis favorit saya, Tasaro GK dalam buku Sewindu mengatakan, "Jika sebuah pemikiran tidak tertuliskan, lantas bagaimana sebuah peradaban hendak diwariskan?"
Itu benar, karena pada kenyataannya buku-buku yang sering kali kita baca adalah hasil dari pemikiran para tokoh terdahulu yang diabadikan dalam bentuk tulisan.Â