Aku terbangun dari tidur dengan dada berdegub. Kembali lagi terdengar suara teriakan yang mengandung kata makian. Dari ruang keluarga. Oh bukan, tepatnya bukan "ruang keluarga"--kalau boleh kukondisikan--lebih tepatnya "ruang pertengkaran".
   Hampir setiap hari hal itu terjadi, tapi aku tidak dapat melakukan apapun. Aku tidak boleh keluar dari kamar sebelum Ayah selesai memaki Ibu. Namun untuk saat itu aku harus keluar--mau tidak mau--karena aku harus ke sekolah.Â
   Bu Guru berpesan, aku harus datang lebih pagi setiap hari Rabu, karena hari itu adalah jadwalku piket. Sambil mengumpulkan segenap keberanian, aku keluar kamar. Mengabaikan perintah Ayah.
   Yang terjadi selanjutnya, aku melihat Ayah memukul wajah Ibu. Hingga Ibu tersungkur di lantai. Tidak cukup sampai di situ, Ayah kemudian menjambak rambut Ibu. Lalu menyeret Ibu. Melihat hal itu seketika aku menjerit. Kutabrak Ayahku dengan badanku yang tidak sebanding dengannya. Tubuhku terpental.
  Ayah memegang kedua bahuku. Meneriaki wajahku. Aku dibilang bukan anak yang menuruti perintah orang tua. Kesalahanku adalah karena aku keluar kamar sebelum Ayah dan Ibu selesai bertengkar. Tanpa kuduga--sebuah tamparan keras mendarat di wajahku.
  Wajahku menjadi panas dan terasa sakit karena tamparan Ayah. Tapi yang lebih menyakitkan adalah "hatiku". Saat Ayah masih saja berteriak dan beradu argumen dengan Ibu, aku sudah berada di kamar mandi. Kembali melanjutkan rutinitas, untuk segera bersekolah.
   Dalam perjalanan ke sekolah, aku merasakan rasa lapar yang luar biasa. Karena aku tidak mungkin sarapan dalam kondisi Ayah dan Ibu sedang bertengkar. Yang aku pikirkan hanya ingin segera keluar rumah dan pergi ke sekolah.
   Tapi perutku tidak bisa diajak berkompromi. Sesampainya di gerbang sekolah, langkahku terhenti. Aroma cilor gulung menguar, dari mamang penjual cilor yang sudah siap menjajakan dagangannya.
   Aku hanya menghela nafas. Aku lupa minta uang jajan pada Ibu. Buruk nasibku pada hari itu, tidak sarapan, ke sekolah tanpa uang jajan. Yang lebih buruk adalah melihat pertengkaran Ayah dan Ibu. Yang hampir setiap hari kusaksikan.
   Seorang perempuan kemudian mendekatiku, ia berdiri di depanku. Ditangannya ada sebungkus cilor gulung yang masih panas. Aroma cilor gulung kembali menguar, uap panasnya menari-nari di depan hidungku.
  "Kamu mau ini, Nak?" Ambillah ...." perempuan yang sangat pengertian itu memberikan cilor gulung dari tangannya. Sepertinya dia memerhatikanku saat aku bergeming melirik gerobak mamang yang berjualan di gerbang sekolah. Dan menangkap basah diriku yang sedang menelan saliva. Tanpa berpikir lama, kuterima pemberiannya, lalu kuucapkan terima kasih.