Anjani, mendengar kabar bahwa Bagas telah meninggal--setelah ia mendapat pesan--dari Mama Bagas. Detik itu juga, jantung Anjani terasa berhenti berdetak. Dadanya mulai sesak, pupil matanya mulai tergenang air-- sebelum akhirnya tumpah--lalu membanjiri kedua pipinya.
      Anjani tidak bisa menerima kenyataan, bahwa Bagas sudah pergi meninggalkan dirinya, dan Rere untuk selamanya.
      Kemudian dicarinya Rere, untuk memberi kabar tentang Bagas--yang telah meninggal--karena mengalami kecelakaan. Lalu diajaknya Rere untuk melayat ke rumah keluarga Bagas.
      Mendengar kabar itu Rere menangis. Dia sangat menyayangi Bagas, yang sudah dianggap seperti kakak sendiri. Sekaligus menemukan sosok ayah, yang dirindukannya selama ini.
      Sesampainya Anjani dan Rere di rumah Bagas, mereka disambut dengan isak tangis. Bagas adalah anak satu-satunya dan kesayangan Papa dan Mamanya. Bagas, anak yang santun, baik hati dan peduli dengan orang-orang di sekitarnya.
      Anjani kembali teringat, bagaimana sikap Bagas yang sangat sempurna di matanya, pun sempurna juga di hati Anjani. Gadis itu tidak menyangka, kalau Bagas ditakdirkan untuk meninggalkannya secepat ini.
      Anjani merasa bersalah, karena meminta Bagas secepatnya datang pada jam lima sore--untuk merayakan acara ulang tahun Bagas dan Rere--saat itu.
      Seandainya saja Anjani tidak terus menerus mengirim pesan pada Bagas, mungkin lelaki itu bisa sedikit santai tanpa harus terburu-buru. Tapi semua sudah terjadi, Anjani tidak dapat menemui Bagas lagi untuk selamanya.
      "Anjani--semua sudah ditakdirkan oleh Allah, bahwa Bagas sudah saatnya dipanggil tanpa kita dapat mencegahnya." Mama Bagas berkata sambil sesekali menyeka air mata.
      "Iya, Tante..."