Sepagi ini, kudengar ibu berbicara padaku, seperti sedang berada di lapangan upacara-saat dibacakannya sila-sila dari Pancasila.
"Mel-Melisa ... jangan melamun. Segera makan roti selai kacangmu, sebelum terlambat pergi ke sekolah."
Suara ibu bagaikan toa yang memekakkan telinga. Seketika kututup kedua telingaku sambil memejamkan mata.
"Hei-Mel, kenapa?" Ibu mengelus kepalaku, dan seketika itu pula aku berusaha menghindar. Huh ... perempuan ini bukan ibuku. Dia cuma menyamar sebagai ibuku. Aku yakin dia hanyalah seorang yang menyamar, yang berusaha bersikap baik, kemudian pada saatnya dia akan melukaiku.
Dasar penyamar, bisa-bisanya orang ini berusaha menjadi ibuku. Aku benci keadaan ini. Semakin hari aku semakin ingin meninggalkan rumah. Aku merasa tidak aman berada di rumahku sendiri. Apalagi bersama dengan seorang perempuan asing yang mengaku-ngaku sebagai ibuku.
Kemudian buru-buru kuambil hoodie yang tergeletak di kursi makan, dan secepatnya meninggalkan rumah, menuju ke sekolah. Dalam perjalanan ke sekolah aku berulang kali menundukkan kepala, supaya tidak dikenali. Sekolahku hanya berjarak sekitar 500 meter dari rumah. Aku sudah terbiasa berjalan kaki. Dan terbiasa pula tidak berteman. Aku lebih suka begini.
Di tengah perjalanan--sekonyong konyong--sebuah motor melesat dan hampir menabrakku. Ah-pengendaranya Pak Mo, satpam sekolah. Untunglah aku dengan cepat menghindar. Sepertinya hidupku memang dalam bahaya. Semua orang yang berada di sekitarku berusaha mencelakaiku. Aku yakin Pak Mo sudah bersekongkol dengan orang yang mengaku sebagai ibuku.
"Mel ... kamu tidak apa-apa?" Pak Mo bertanya, karena aku reflek berjongkok sambil menutup kedua mata dan telingaku. Seketika aku berdiri dan langsung berlari meninggalkannya, tanpa berkata sepatah katapun. Orang itu hanya berpura-pura baik, padahal upayanya mencelakaiku telah gagal. Pak Mo dan ibu palsuku telah bersekongkol ingin mencelakaiku.
_____
Klinik dr. Gondo SpKJ