Sampai engkau, ya engkau, sang Fulan bermata rembulan, berhidung awan, beralis hujan. Engkau, Tuan, yang kini jadi kesayangan.
Engkau datang menujuku. Membawa satu sendok cinta yang baru. Ya, satu sendok saja. Cukup. Aku tidak mau muntah karena terlalu kekenyangan. Cukup adalah lebih dari cukup. Cinta yang kau bawa ampuh. Aku sembuh.
Engkau adalah cinta yang tak pernah ku cari. Cinta yang tiba sendiri. Cinta yang tak kutemui di belahan dunia manapun. Cinta yang mengusung kunci tertutupnya gerbang hati. Cinta yang...ah, sudah sudah, aku tak punya cukup kata untuk menuliskannya. Indah bagiku. Teramat indah. Aku lupakan luka dengan mudah.
Telaga air di mata pun terlerai jadi kemarau...
Kini takutku lenyap tak bersisa. Engkau yang menghunusnya sampai mati dan terkubur. Engkau cinta yang diutus Tuhan untukku. Seperti sayap lembut malaikat yang Dia sisipkan di jantungku. Pengawal jantan yang selalu siap menjagaku sepanjang waktu.
Sekarang aku tak takut lagi...
Walau hujan tak mau berhenti sepanjang hari. Meski terik matahari hanguskan kulit ari. Tidak. Aku tidak takut lagi. Ada engkau.
Terima kasih telah sebarkan benih cinta dan keberanian pada ladang hidupku. Lalu semaikan benih kasih pada kering tanah jantungku. Aku terobati. Kelak aku pasti akan belajar tumbuh. Berdahan, beranting, berdaun dan berbunga. Bersamamu, kumbang di hatiku.
--
Sungguh, bila cinta terpelihara di atas ego, posesif kronis, cemburu membabi buta, kasih sayang palsu, alat pemuas nafsu...kemudian menjelma sebagai kencangnya tali kekang yang menjerat, melukai bahkan menguasai kehidupan si jantung hati, maka...
Terkutuklah, cinta!