[caption caption="pic from picwords.net"][/caption]
Pernah, aku begitu takut. Sungguh takut. Teramat takut. Bahkan trauma akut. Tahukah aku trauma akan apa? Sini kujabarkan. Kita gelar tikar. Simak kisah yang beranjak liar. Sedikit saja, tak apa kan? Nanti kan terdulang kesimpulan. Tak perlu menerka-nerka, tunggu hingga usai.
Bukan. Ini bukan tentang apa-apa. Hanya tentang lika liku cinta. Namun sempat membuatku ingin binasa. Binasa? Iya binasa. Tak bernyawa.
Mati yang lebih cepat dari sekedar mati menenggak racun serangga. Lebih kilat daripada leher yang ditebas algojo narsis. Tapi...enggan juga seperti pengantin bom bunuh diri. Itu terlalu tragis.
Aku takut pagi. Takut matahari. Takut kedatangan esok hari. Bergidik atas hal yang belum tentu terjadi. Dahaga atas harapan. Semua kelam. Semua serupa asap hitam.
Mimpi terbendung dalam sekawan awan mendung. Pelangi berwarna debu yang membusung. Dunia bagai sekumpul derita tak berujung.
Aku menggugat takdir. Ya. Aku pernah menggugat takdir. Berulang-ulang. Betapa hebatnya aku ini. Ingin ku tampar kedua pipi waktu yang bergulir. Membalikkannya ke masa lampau. Mengulangi jejak tanpa kesalahan. Menapaki perjalanan tanpa sesal. Tapi sia-sia.
Hingga aku aku sadar diri. Dalam dunia fana ini, yang tak bisa mundur hanyalah waktu...
Semua ulah cinta. Ya, cinta yang telah diperalat. Berdalih atas nama cinta namun omong kosong belaka. Cinta yang mengandung keindahan tetapi melahirkan bayi bertangan besi yang menuhankan amarah dan emosi. Otak bekerja, hati entah kemana.
Dia menguasaiku. Aku dikuasainya. Dia memperdayaiku. Aku diperdayainya.
Indahnya cinta hanya ada di dongeng klasik Cinderella. Suci cinta dibalas tuba. Tulus kasih dibalas pamrih. Aku lelah. Aku jengah. Aku payah.
Sampai engkau, ya engkau, sang Fulan bermata rembulan, berhidung awan, beralis hujan. Engkau, Tuan, yang kini jadi kesayangan.
Engkau datang menujuku. Membawa satu sendok cinta yang baru. Ya, satu sendok saja. Cukup. Aku tidak mau muntah karena terlalu kekenyangan. Cukup adalah lebih dari cukup. Cinta yang kau bawa ampuh. Aku sembuh.
Engkau adalah cinta yang tak pernah ku cari. Cinta yang tiba sendiri. Cinta yang tak kutemui di belahan dunia manapun. Cinta yang mengusung kunci tertutupnya gerbang hati. Cinta yang...ah, sudah sudah, aku tak punya cukup kata untuk menuliskannya. Indah bagiku. Teramat indah. Aku lupakan luka dengan mudah.
Telaga air di mata pun terlerai jadi kemarau...
Kini takutku lenyap tak bersisa. Engkau yang menghunusnya sampai mati dan terkubur. Engkau cinta yang diutus Tuhan untukku. Seperti sayap lembut malaikat yang Dia sisipkan di jantungku. Pengawal jantan yang selalu siap menjagaku sepanjang waktu.
Sekarang aku tak takut lagi...
Walau hujan tak mau berhenti sepanjang hari. Meski terik matahari hanguskan kulit ari. Tidak. Aku tidak takut lagi. Ada engkau.
Terima kasih telah sebarkan benih cinta dan keberanian pada ladang hidupku. Lalu semaikan benih kasih pada kering tanah jantungku. Aku terobati. Kelak aku pasti akan belajar tumbuh. Berdahan, beranting, berdaun dan berbunga. Bersamamu, kumbang di hatiku.
--
Sungguh, bila cinta terpelihara di atas ego, posesif kronis, cemburu membabi buta, kasih sayang palsu, alat pemuas nafsu...kemudian menjelma sebagai kencangnya tali kekang yang menjerat, melukai bahkan menguasai kehidupan si jantung hati, maka...
Terkutuklah, cinta!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H