www.suaraislam.com
"Kamu pake jilbab nggak?"
Suara diseberang sana tidak bertanya soal apa agama saya, tetapi langsung ke pertanyaan itu. Berawal saat saya mengenal seseorang via dunia maya di mana sosial media belum sehappening sekarang dan dulu saya sama sekali tidak pernah mencantumkan foto saya di dunia maya.Hanya nama pena ketika berselancar di dunia maya.
"Aku belum dapet hidayah," jawab saya. Kami memang bertukar nomor telepon setelah cukup lama berhubungan hanya via jalur chat saja.
"Oh gitu yah, semoga nanti kamu dapat hidayah yah..." Kalimat itu cukup mengagetkan saya. Mengingatkan sekaligus sedikit "kesal". Siapa dia berani bilang begitu? Ketemu saja belum pernah, baru say hello via telepon. Tapi saya nggak protes. Barangkali Tuhan tengah menyentil saya melalui dia.
Sejujurnya sensi banget yah kalau bicara soal agama. Entah apa pun temanya biasanya kalau menyangkut agama kadang menuai pro kontra. Maklum saja, di negeri ini soal agama selalu menjadi issue yang sensitif. Pengalaman cinta tapi beda agama ini saya jalani selama kurun waktu bertahun-tahun.
Kembali pada inti tulisan, karena "klik", kami intens berhubungan sampai akhirnya saya beranikan diri saat dia mengajak bertemu. Tak lama setelah pertemuan itu, akhirnya kami saling jatuh hati. Saya pun tak bertanya lebih lanjut tentangnya. Dia santun saya sudah senang, yang penting nggak modus dan neko-neko. Syukur-syukur selalu baik dan jujur, soal ganteng atau mapan secara financial adalah bonus.
"Sholat magrib dulu yah," satu waktu ketika pertama kali jalan bareng, saya ajak dia mampir ke mesjid. Dia menganggukan kepala. Karena tempat wudhu cowok dan cewek berbeda, kami langsung berpisah dan janjian ketemu di pelataran setelah selesai. Dari sana dia ajak saya makan malam.
"Aku bukan muslim..." Dia menatap saya.
Terus terang saya kaget. Hampir saja suapan chicken cordon bleu favorit saya loncat dari mulut saya. Tapi saya berusaha menguasai keadaan. Meski di sudut hati saya yang lain, ada satu rasa yang sulit saya ungkapkan dengan kata-kata. Rasanya seperti berdiri bibir jurang yang tak ada dasarnya. Saya sudah terlanjur jatuh hati dengan mahluk manis di depan saya kala itu.
"Kalau begitu, hubungan kita pasti akan lalui banyak rintangan," saya langsung memberikan warning untuk kami berdua. Saya mengingat kasus yang terjadi pada sahabat saya. Jelimet dan berakhir dengan kesedihan.
"Tapi aku terlanjur sayang kamu dan aku mau jalani hidup aku dengan kamu, sampai tua," dia genggam tangan saya, yakinkan hati saya. Saya tak melihat ada kegombalan di sana.
"Dalam agamaku, sebagai perempuan muslim, tidak ada pernikahan beda agama dan aku juga nggak akan pernah mau memaksa siapa pun mengikuti agamaku, karena saya juga tidak mau dipaksa..." Saya jelaskan sekaligus menegaskan sedikit yang saya ketahui dalam agama yang saya anut.
"Kita jalani saja dulu yah, kan nggak tahu ke depannya bagaimana?"
Saya mengangguk. Dalam perjalanannya, antara cinta dan logika sering mengalami benturan di sana-sini. Bertahun-tahun saya "makan perasaan" karena tak pernah tahu ujung dari hubungan kami. Saya sering menangis karena usia terus bertambah dan kami masih saling cinta dalam ketidakjelasan. Kami pun tetap setia dalam keyakinan yang kami anut.
***
Dalam setiap hubungan (percintaan) apapun kondisinya, selalu ada dua sisi yang berbeda. Bisa saling bertentangan, bisa juga saling melengkapi. Di bawah ini saya memberi pandangan bila kita berhubungan a.k.a pacaran dengan orang yang berbeda agama berdasarkan pengalaman pribadi saya.
Sisi plusnya:
1. Toleransi tingkat tinggi
Saya hidup dalam lingkungan yang sejak kecil rata-rata satu keyakinan dengan saya. Baik lingkungan rumah mau pun sekolah. Ketika pada akhirnya saya harus dekat dengan orang yang berbeda keyakinan karena rasa cinta, saya berada dalam posisi yang super bijaksana terutama dalam hal keyakinan dan ritual ibadah masing-masing. Terkadang saling mengingatkan. Dulu saya terdogma untuk tidak boleh mengucapkan hari raya pada siapapun yang berbeda agama, tapi sekarang sudah tidak lagi.
2. Jarang berantem
Punya pacar beda agama itu tingkat pengertiannya begitu tinggi. Kami jarang ribut apalagi soal hal-hal kecil karena pada dasarnya kami sudah punya satu "masalah besar" yang harus kami pikirkan baik-baik tanpa melibatkan banyak emosi dalam perjalanannya. Akhirnya secara otomatis kami jadi dewasa sendiri.
3. Ilmu pengetahuan jadi bertambah
Awalnya saya hanya belajar dan mendalami agama tentang agama yang saya anut saja. Ketika punya pacar beda agama, saya pun akhirnya jadi tahu tentang agama lain dan ritual-ritual ibadah apa saja yang mereka lakukan tanpa saya harus ikut di dalamnya. Apalagi setelah saya tahu lebih jauh bahwa pacar saya ternyata masih ada keturunan Chinese dengan budaya dalam keluarganya yang begitu kental. Cinta pada akhirnya membuat kami saling menghargai perbedaan, bukan saling mempengaruhi atau menjelek-jelekkan satu sama lain.
Nggak enaknya:
1. Ujung cerita cinta jadi misteri yang menakutkan
Setiap orang dewasa yang tengah menjalin hubungan percintaan dengan serius, pastinya ingin bermuara pada suatu pernikahan. Itu adalah impian setiap pasangan kekasih yang belum resmi terikat janji sehidup semati dalam pernikahan.
Kepada pasangan beda agama, hal ini super sensitif. Apalagi kalau cintanya sudah mentok. Saya sendiri lebih sering menangis bila mengingat-ingat bagaimana masa depan saya? Ternyata pacar saya juga sama halnya. Saya sering "complain" pada Tuhan karena saya percaya saya dan pacar saya diciptakan oleh Tuhan yang sama. Tapi kenapa agamanya musti beda-beda?
Suatu waktu dia (setengah bercanda) mengajak untuk menikah di luar negeri supaya tidak ada salah satu pihak yang berkorban. Kata dia itu win win solution. Namun bagi saya itu bukan solusi, saya tegas menolak. Akhirnya buntu lagi.
2. Back Street
Pacaran beda agama itu selain menjaga perasaan hati kami masing-masing, kami juga harus menjaga perasaan keluarga besar kami. Selama dua tahun kami "ngumpet" dan menutupi hubungan kami dari keluarga besar kami.
Hal ini sungguh nggak enak. Di saat sebelumnya saya biasa dikunjungi, diantar/jemput ke rumah tiap malming oleh (mantan) pacar, akhirnya terpaksa harus sembunyi-sembunyi bertemu di luar. Saat pulang pun, saya selalu memohon untuk "diturunkan" di ujung jalan (bukan di depan rumah).
3. Tidak bisa menjalankan ibadah sama-sama
Ketika puasa, saya puasa sendirian. Meski kerap menemani berbuka puasa di luar, pacar saya tetap saja tidak puasa. Ketika sholat, pacar saya tidak pernah jadi imam saya. Ketika berhari raya, saya tidak bisa merayakan bersamanya.
Saat saya menghadiri suatu acara misal pengajian, pacar saya hanya mengantar dan menunggu saya di luar hingga saya selesai. Sedih? So pasti. Tapi saya masih menghormati untuk tidak mengajak-ngajak pacar mengikuti ibadah yang saya jalani. Kalau soal mengantar jemput, itu kemauan dia.
***
Pada akhirnya, menjalani pacaran beda agama adalah pacaran paling "menyiksa" hati dan pikiran saya. Bikin kalut dan kacau nggak jelas. Kalau bisa memilih, saya mungkin memilih untuk tidak dipertemukan dalam kondisi seperti itu. Seperti terombang-ambing di atas perahu berdua bersama orang yang kita cintai tapi tak tahu tujuannya mau ke mana? Nyeseknya itu di mana-mana.
Namun begitu, benar adanya bahwa panah cupid itu bisa menembus hati tanpa memilih dia itu beragama apa, dari suku apa atau keturunan siapa? Lalu bagaimana menyikapinya? Apakah cukup dengan kalimat: "kita jalani saja dulu"? Hmmm.
Saya rasa, lebih dari itu. Bertawakal kepada kehendak Tuhan adalah jalan terbaik ketika kita sudah keras berusaha dan berdoa. Tuhan semestinya jadi tempat bertanya yang paling sering kita datangi karena jawaban akhir selalu ada pada-Nya. Saya percaya itu. Jawaban terbaik datangnya pasti dari Tuhan.
Pertemuan dan perpisahan adalah bagian dari rencanaya-Nya. Yakin saja jodoh akan menemui jalannya sendiri apapun "kasus"nya, termasuk bila "kasusnya"nya seperti yang saya alami. Tuhan tidak akan membiarkan hamba-Nya kebingungan sendiri dalam pertanyaan-pertanyaan sulit. Kalau kita bertanya pasti dijawab, masalah waktu hanya Tuhan yang paling tahu.
Ada yang sudah bertahun-tahun pacaran (walau seagama) tetapi akhirnya tidak jadi. Ada yang pada akhirnya salah satu "mengalah" pindah keyakinan demi menikahi kekasihnya (atau karena memang ada hidayah Tuhan dengan perantara kekasihnya itu). Ada juga yang akhirnya memilih berpisah karena tak menemukan solusi atas perbedaan (agama). Itulah misteri jodoh.
Saya rasa cukup segitu saja dulu. Mungkin bisa satu buku saya ciptakan untuk menceritakan tentang kisah dan lika-liku cinta beda agama yang saya alami. Tapi saya janji, someday akan saya ceritakan lebih lengkap bagaimana akhir kisah cinta saya itu.
***
~ Aku untuk kamu, kamu untuk aku...Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda...Tuhan memang satu, kita yang tak sama...Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi... (Peri Cintaku - Marcell) ~
Ilustrasi dari www.suaraislam.com
   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H