3. Ilmu pengetahuan jadi bertambah
Awalnya saya hanya belajar dan mendalami agama tentang agama yang saya anut saja. Ketika punya pacar beda agama, saya pun akhirnya jadi tahu tentang agama lain dan ritual-ritual ibadah apa saja yang mereka lakukan tanpa saya harus ikut di dalamnya. Apalagi setelah saya tahu lebih jauh bahwa pacar saya ternyata masih ada keturunan Chinese dengan budaya dalam keluarganya yang begitu kental. Cinta pada akhirnya membuat kami saling menghargai perbedaan, bukan saling mempengaruhi atau menjelek-jelekkan satu sama lain.
Nggak enaknya:
1. Ujung cerita cinta jadi misteri yang menakutkan
Setiap orang dewasa yang tengah menjalin hubungan percintaan dengan serius, pastinya ingin bermuara pada suatu pernikahan. Itu adalah impian setiap pasangan kekasih yang belum resmi terikat janji sehidup semati dalam pernikahan.
Kepada pasangan beda agama, hal ini super sensitif. Apalagi kalau cintanya sudah mentok. Saya sendiri lebih sering menangis bila mengingat-ingat bagaimana masa depan saya? Ternyata pacar saya juga sama halnya. Saya sering "complain" pada Tuhan karena saya percaya saya dan pacar saya diciptakan oleh Tuhan yang sama. Tapi kenapa agamanya musti beda-beda?
Suatu waktu dia (setengah bercanda) mengajak untuk menikah di luar negeri supaya tidak ada salah satu pihak yang berkorban. Kata dia itu win win solution. Namun bagi saya itu bukan solusi, saya tegas menolak. Akhirnya buntu lagi.
2. Back Street
Pacaran beda agama itu selain menjaga perasaan hati kami masing-masing, kami juga harus menjaga perasaan keluarga besar kami. Selama dua tahun kami "ngumpet" dan menutupi hubungan kami dari keluarga besar kami.
Hal ini sungguh nggak enak. Di saat sebelumnya saya biasa dikunjungi, diantar/jemput ke rumah tiap malming oleh (mantan) pacar, akhirnya terpaksa harus sembunyi-sembunyi bertemu di luar. Saat pulang pun, saya selalu memohon untuk "diturunkan" di ujung jalan (bukan di depan rumah).
3. Tidak bisa menjalankan ibadah sama-sama