Mohon tunggu...
Dewi Pagi
Dewi Pagi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Say it with poems & a piece of cake...| di Kampung Hujan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dewi, Gadis Kecil Malang yang Terjerat "Warisan Hutang"

4 Mei 2015   08:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:24 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_364311" align="aligncenter" width="460" caption="Pic from detik.com"][/caption]

Dulu saya pernah merasa berada di titik terendah dalam hidup saya, salah satunya adalah ketika sempat terlilit hutang kartu kredit. Meski pada akhirnya semua bisa saya selesaikan, namun rasa "trauma" itu sempat ada terutama ketika saya jalan ke mall dan para sales kartu kredit bermanis-manis wajah menawarkan untuk memiliki kartu kredit.

Bagaimana tidak trauma, 1 kartu kredit saya yang limitnya 5 juta saja ternyata bisa membengkak hingga 12 juta ketika menunggak dalam waktu setahunan (saya membayar setiap bulan walau minimum payment), sedangkan saya memiliki lebih dari 5 kartu dari bank yang berbeda. Belum dengan cara-cara penagihan yang di luar batas normal. Terbayang kan gimana stressnya? Tapi kemarin saya merasa, ternyata masih ada yang lebih parah dari saya ketika berurusan dengan yang namanya hutang berbunga.

Kemarin, saya membaca berita di media online tentang Dewi, seorang gadis kecil usia 11 tahun yang terpaksa menjadi pengemis karena harus membayar hutang almarhum ibunya. Celakanya, Dewi harus berurusan dengan seorang rentenir yang pernah "membantu" meminjami uang pada ibunya untuk membeli obat-obatan.

Setiap hari, Dewi harus setoran minimal 50 ribu pada tetangganya sekaligus"ibu asuhnya" yang bernama S. S inilah yang menampung Dewi setelah ibunya meninggal. Total hutang ibunda Dewi yang awalnya hanya 2 juta membengkak hingga mencapai 7 juta rupiah (pinjam pada rentenir).

Sesak dada saya ketika mengikuti berbagai berita tentang Dewi. Membayangkan andai posisi saya ada padanya. Di usia 11 tahun dan sedang menikmati masa sekolah juga bermain, Dewi diharuskan melakukan sesuatu yang sebenarnya enggan dia lakukan dan bukan kewajibannya mengingat Dewi masih di bawah umur.

Bila setoran hasil mengemis tak sesuai "target", Dewi takut pulang dan menangis di pinggir jalan. Dewi sering dimarahin "ibu asuh"nya bila setorannya kurang. Malangnya Dewi.

Saya sendiri geram pada "ibu asuh"nya itu. Sungguh tega sekali memperlakukan Dewi seperti itu padahal Dewi telah menjadi anak yatim piatu. Andaikan hutang itu memang harus dilunasi, apakah tidak ada jalan lain selain menyuruh Dewi untuk mengemis? Apakah masyarakat di sekitar tempat tinggal Dewi tidak bisa diajak berembuk untuk menyelesaikan masalah itu? Kemana tetangga lainnya? Kemana RT-nya? Kemana RW-nya?

Saya jadi berpikir, apakah ada maksud terselubung dibalik pengasuhan itu? Karena dari setiap setoran Dewi yang berjumlah 70 ribu per hari, katanya 50 ribu untuk mencicil hutang ke rentenir dan 20 ribu untuk "ibu asuhnya" itu. Nah, untuk yang 20 ribu itu apakah itu semacam biaya hidup yang harus Dewi keluarkan karena Dewi tinggal di situ atau bagaimana? Apakah ada jaminan setelah hutangnya lunas, Dewi tidak akan disuruh mengemis lagi oleh "ibu asuh"nya itu?

Syukurlah masalah Dewi akhirnya bisa terselesaikan. Pemerintah yang melunasi hutang alm. ibunda Dewi. Meski saya menyayangkan kenapa pelakunya tidak ditangkap? Bukankan perbuatan mereka pada Dewi adalah bentuk pelanggaran? (Contohnya: mempekerjakan anak di bawah umur)

Dewi kini tinggal di rumah singgah milik guru mengajinya. Tak perlu lagi mengemis di jalanan. Dewi sudah terbebas dari belenggu tekanan "ibu asuh"nya dan bisa menjalani kehidupannya senormal mungkin bersama teman-teman sebayanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun