[caption id="attachment_305886" align="aligncenter" width="480" caption="dok pribadi"][/caption]
Di batas pagi bergegas aku melangkah
susuri liuk kaki gunung yang berkabut
gerimis sesaat tiba lalu deras hujan tercurah
matahari sembunyi, mengalah pada tebal awan berselimut
.
Kubiarkan telanjang jemari kakiku tergenang
dalam pijakan-pijakan berlubang
aku menikmati pesona kampung ini
dengan sejuta hujan tanpa henti
.
Jikalau saja...kau yang aku cinta, ada menemani
kita jadi saksi gemericik hati atas anugerah Illahi
betapa semua indah tak terbantah
selayak siluet kayangan di negeri antah berantah
.
Ingatkah kau pada lampau puisiku untukmu?
'Temui Aku di Pematang Sawah Kampung Padi', pernah ku beri kau sajak yang satu itu
sederhana kata yang aku cipta
tanpa tumpukan aksara-aksara dewa
.
Kau dan aku cinta aroma pagi
pun lekukan rerimbun padi
kita suka hujan, aku gerimis kau lebatnya
di hamparan sawah hijau, sendiri kuleburkan segala rasa
.
Ini benar-benar kampung hujan!
bukan kampung sembarang hujan!
bukan halusinasi tingkat tinggi
atau hanya sepotong mimpi
.
Rasanya tak ingin pulang
mauku menetap di sini selamanya
menunggumu datang membawa rindu bukan kepalang
peluk aku lepaskan segala belenggu jiwa
.
Nanti saat kau datang
kan kupersembahkan beningnya mata air kasih sayang
ku ajak kau tersesat dalam labirin renjana
tanpa satu pun petunjuk kecuali agungnya cinta
.
.
...lalu kau dan aku, mengikat sebenarnya cinta...hingga Tuhan memisahkan...
.
.
Kampung Hujan, 280414
.
.
~ Dalam penantianku, ada hal terindah yang akan kuciptakan...yaitu berpuisi tentangmu. Kau harus tahu, takkan pernah cukup waktu saat menuangkan sosokmu ke dalam serambi kata-kata nan indah berjelujur... dan menunggu takkan pernah jadi suatu hal yang menyiksaku... ~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H