Sejalan dengan itu, Tahawi mengatakan, negara bisa memberikan batasan kepada hak milik perorangan, mengaturnya atau menyitanya sesudah memberikan ganti rugi yang layak. Berbeda dengan hak milik negara, di mana negara berhak untuk memberikan sesuatu tersebut kepada individu atau perorangan sesuai dengan kebijakan negara misalnya, terhadap air, tambang garam, padang rumput, lapangan, dan lain-lain, tidak boleh sama sekali negara memberikannya kepada orang tertentu, meskipun semua orang boleh memanfaatkannya secara bersama-sama sesuai dengan keperluannya.
Berbeda dengan harta kharraj yang boleh diberikan kepada para petani saja, sedangkan yang lain tidak. Juga dibolehkan harta kharraj di pergunakan untuk keperluan belanja negara saja tanpa dibagikan kepada seorang pun.(Annabhani, hlm. 243-245).
Dalam ekonom islam, pemilikan hakiki hanyak milik Allah. (Q.S.An-Nur(24):33). Allah adalah pemilik mutlak (absolut), sedangkan manusia memegang hak milik relatif. Artinya, manusia hanyalah sebagai penerima titipan, trustee (pemegang amanat) yang harus mempertanggungjawabkan-nya kepada Allah.
Jadi, menurut ekonomi islam, penguasaan manusia terhadap sumber daya alam, faktor produksi atau aset produktif hanyalah bersifat titipan dari Allah. Apabila semua sumber daya alam di alam semesta ini sebagai milik Tuhan maka konsekuensinya adalah setiap individu mempunyai akses yang sama terhadap milik Allah, karena seluruh alam ini ditundukkan untuk kemaslahatan seluruh manusia. Sebaliknya menurut ekonomi konvensional, usaha mendapatkan kekayaan, pemanfaatannya dan penyalurannya, tunduk pada wants manusia itu sendiri, tidak tunduk pada ketentuan syariat dan kaidah-kaidah yang ditetapkan Allah SWT.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI