Buku penggalan karya sastra kuno yang bahasanya telah disesuaikan dengan bahasa Indonesia saat ini saya beli di bandara Sultan Hasanuddin pada Maret 2017 lalu. Sudah sempat dibaca tapi memang agak sulit bagi saya untuk memahaminya hahaha.... Selain karena memang bukan pecinta novel atau semacamnya, buku ini adalah penggalan cerita yang dikemas dalam urutan ke enam, sehingga telah tertinggal penggalan cerita dalam lima urutan lainnya yang membuat kisah ini sulit saya pahami.Â
Mengapa tertarik membeli buku ini? Sesaat setelah melaksanakan kegiatan Kelas Inspirasi di kota Makassar, bersama teman-teman saya menyempatkan diri berkunjung ke Museum I La Galigo yang terletak satu area dengan benteng Fort Rotterdam. Di museum tersebut dikisahkan secara singkat tentang I La Galigo yang membuat saya penasaran dan nekat membeli bukunya dan memilih penggalan cerita yang dikemas dalam urutan ke enam, yang mengakibatkan tidak nyambung dalam menikmati ceritanya. Â
Terkait karya sastra yang berasal dari tanah air ini, pada Kompas edisi 5 Desember 2017 diangkat kisah sosok profesor perempuan yang memiliki pengetahuan besar pada karya sastra I La Galigo. Karena hal tersebut perempuan bernama lengkap Prof. Dr. Nurhayati Rahman ini kerap disapa Siti Galigo.
Beberapa tinjauan menarik terkait I La Galigo adalah :
1. La Galigo atau I La Galigo adalah naskah kuno dari Sulawesi Selatan, Indonesia yang merupakan naskah terpanjang di dunia melebihi Mahabharata dan Odisseus.
2. Panjang naskah I La Galigo adalah 360.000 bait, sedangkan Mahabharata 156.000 bait.
3. Awalnya I La Galigo berupa nyanyian yang dianggap keramat.
4. Naskah ini menjadi saksi zaman tentang kehidupan sosial orang Bugis kuno, di mana menurut para ahli, naskah ini ditulis pada abad ke 3 sampai ke 7.
5. Naskah I La Galigo ditulis dalam bahasa Bugis kuno dengan huruf Lontgaraq tua, namun saat ini sedang ditulis kembali untuk diterbitkan utuh edisi 4-12 dalam bahasa yang telah diterjemahkan dan disesuaikan dengan zaman saat ini, namun tidak mengurangi makna dan pesan ceritanya.
6. Penerbitan edisi ke 4 hingga ke 12 I La Galigo akan dibiayai oleh pemerintah Indonesia melalui Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
7. Naskah I La Galigo sudah bertahun-tahun tersimpan rapi di Universitas Leiden, dan selama tujuh tahun sejak 2004 hingga 2011, naskah ini dipentaskan di 13 kota di sejumlah negara, namun sementara di tanah kelahirannya yaitu Sulawesi Selatan kurang dikenal. Berkat pementasan di beberapa negara tersebut I La Galigo menjadi milik dunia.
8. Pada tahun 2011, I La Galigo dinyatakan sebagai warisan dunia oleh UNESCO dan diberi anugerah Memory of the Word (MOW).
9. Beruntunglah terdapat seorang perempuan kelahiran Bone, yang begitu ingin melestarikan karya sastra ini hingga mengambil salah satu episode I La Galigo sebagai proposal disertasi program doktoralnya (1998). Ia adalah Prof. Dr. Nurhayati Rahman. Hebat! Begitu cintanya ia terhadap warisan karya sastra tanah air, I La Galigo. Selain itu ia juga ingin mengembalikan I La Galigo ke tanah kelahirannya yaitu Indonesia.
10. Nurhayati atau Siti Galigo amat bahagia, saat 26 September 2017 lalu di Gedung LIPI Jakarta Dirjen Kebudayaan menyatakan akan membantu pembiayaan penerbitan naskah I La Galigo edisi ke 4 hingga ke 12. Pantas saja ia bahagia, karena telah lebih dari 25 tahun hati dan pikirannya tercurah pada I La Galigo, dan kini berbuah manis.
Note : Buku yang saya beli bukan buku yang berisi kisah lengkap dalam satu edisi. Buku I La galigo yang lengkap baru diterbitkan dalam 3 edisi saja, dan kemungkinan buku saya ini adalah penggalan sedikit cerita saja dari 3 edisi tersebut yang naskah aslinya tentu panjang sekali.Â
(dnu, disarikan dari harian Kompas edisi 5 Desember 2017 dan buku I La Galigo terbitan Pustaka Refleksi yang ditulis oleh Nunding Ram, Yusuf dan Lely Yuliani Said, 3 Januari 2018)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H